Ani Nuraini's Blog

Archive for Juli 2009

Prinsip ketiga tentang doktrin al-Wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman).

Allah melalui rasulnya telah mengemukakan anjuran (wa’ad) terhadap kewajiban-kewajiban tertentu dengan janji imbalan pahala bagi satu persatunya dan telah mengemukakan ancaman (wa’id) terhadap kejahatan–kejahatan tertentu dengan janji imbalan siksa atas satu persatunya. Pelanggaran terhadap hal-hal yang di ancam itu bisa berbebtuk pelanggaran-pelanggaran kecil (al-Shagair) dan pelanggarang-pelanggaran besar (al-Kabair). Di antara pelanggaran besar itu ada yang mencapai tingkat kufur, dan pelakunya di sebut kafir. Di antara pelanggaran-pelanggaran besar itu ada yang tidak mencapai tingkat kufur,maka pelakunya di sebut fasiq. Kedudukan orang fasiq itu terletak di antara dua kedudukan lainnya, yaitu bukan mukmin dan bukan kafir. Ini berkaitan dengan prinsip ke empat, yaitu tempat di antara dua tempat (al-manzilatu bain al-manzilatin). Kedudukan orang fasiq itulah yang di panggil al-manzilatu bain al-manzilatain. Prinsip ke lima, menyuruh kepada kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Untuk memelihara pemurnian keimanan itu perlu terlaksana perintah menyuruh kepada kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar) dengan jalan apapun juga. Untuk melaksanakan hal ini Mu’tazilah bersikap sangat keras terhadap saudara muslimnya, seperti dapat di saksikan pada peristiwa tragis sehubungan dengan masalah al-Qur’an itu kalam Allah ataukah hanya ciptaan Allah. Sikap Mu’tazilah dalam amar ma’ruf nahi munkar ini mirip dengan sekte Khawarij yang menganggap seluruh pendirian-pendirian yang di anutnya. Dalam menerapkan prinsip inilah mu’tazilah meninggalkan cacat, sebuah jejak hitam dalam sejarah sehingga kedudukan nya berakhir sebagai mazhab resmi.

D. Metode Kalam Mu’tazilah

Dengan memahami konteks sumber tradisi pemikiran Mu’tazilah yang mempengaruhi nalar mu’tazilah dapat di fahami bahwa srtuktur nalar atau akal Mu’tazilah adalah rasionalitas. Sumber tradisi pemikiran yang telah di jelaskan di muka sangat menentukan cara kerja intelektual atau metode kalam Mu’tazilah.

Karakteristik Mu’tazilah sanagat gemar dan sangat ekstrim dalam menggunakan akal. Hal ini dapat di lihat pada kasus bagaimana al-Qur’an dinterpretasikan.

Untuk menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar islam Mu’tazilah melawan argumentasi, kekuatan akal di lawan dengan kekuatan akal, setiap sususnan pikiran dari pihak lawan di patahkan dengan susun pikiran yang logis dan rasionil. Kekuatan ratio (akal) adalah senjata satu-satunya bagi menghadapi berbagai keyakinan dan ajaran itu. Jikalau ajaran Islam kalah pada saat itu, maka Islam akan di telan oleh kebudayaan besar yang di taklukannya. Artinya dalam menemukan dalil untuk menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak di ketahui selain dalil nash. Kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya di batasi oleh penghormatan mereka kepada syara’. Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal, yang dapat di terima akal meraka terima, yang tidak dapat di terima akal mereka tolak.

Adapun cara kerja intelektual Mu’tazilah dapat di lihat di muka dalam doktrin-doktrin Mu’tazilah yang di kenal dengan pancasila Mu’tazilah.

E. Mihnat (pemeriksaan)

Sebagai implikasi dan doktrin tauhid, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an bukan kalam Allah, tetapi hanya manifestasi dari kalam allah , jadi al-Qur’an cuma suatu mahkluk, suatu ciptaan sama dengan ciptaan yang lainnya. Karena cuma satu mahkluk al-Qur’an tidak qadim dan tidak azali. Pandangan ini tidak dapat di terima oleh kalangan muhaditsin.

Mihnat Pada Masa Al Makmun

Pada masa khalif al-makmun, mu’tazilah menjadi madzhab resmi Abbasiyah. Al-makmun sangat mengagumi cara berfikir Mu’tazilah. Sehingga untuk melaksanakan salah satu doktrin Amar ma’ruf nahi munkar al-Makmun mengirimkan surat-surat kepada para gubernur untuk melakukan mihnat. Surat yang pertama di mulai dengan menjelaskan sebab-sebab yang mendorong al-Makmun mengeluarkan perintah resmi, sebagai khalifah ia wajib memelihara kemurnian agama islam dan menegakkan keyakinan yang benar (al-Haq) dalam lingkungan pemeluk agama islam. Ahmad Amin dalam karyanya Dhuhul Islami jilid 3, menyimpulkan isi surat al-Makmun dalam 5 hal, yaitu : (a) al-Makmun merasa dirinya berkewajiban untuk memelihara kemurnian islam dari setiap kekeliruan. (b) Lapisan awam pada saat itu sangat mempermasalahkan kejadian al-Qur’an sedangkan mereka beranggapan bahwa al-Qur’an qadim karena al-Qur’an itu kalam Allah, mereka mengikuti pandangan para pemuka agama, termasuk para muhaditsin. (c) Banyak para hakim yang menduduki jabatan peradilan menganut keazalian al-Qur’an. (d) Keputusan hakim dan kesaksian orang yang menganut keazalian al-Qur’an tidak dapat di perangi, kecuali keyakinannya benar. (e) al-Makmun tidak bersedia mempercayakan jabatan agung tersebut kepada seorangpun, kecuali iman dan tauhidnya benar.

Pada saat itu tokoh Mu’tazilah terbesar menjadi hakim agung, yaitu Ahmad ibnu Abi Daud, dia memberikan pandangan untuk mengumumkan pendiriannya dan menjadikan mu’tazilah sebagai madzhab resmi.

Berdasarkan surat-surat al-Makmun yang di perbanyak dan di kirimkan kepada para gubernur barat dan timur, maka perintah resmi mihnat di laksanakan. Di Baghdad Emir Ishaq bin Ibrahim memerintahkan tujuh orang terkemuka dari kalangan muhaditsin dikirim ke untuk di mihnat. Mereka itu adalah Muhammad bin Saad, Abu Muslim Abdurahman bin Yunus, Yahya bin Ma’in, Subair bin Harb abu Khaitsamat, Ismail bin Daud, Ismail bin Mas’ud, dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauraqi. Mereka di antar oleh pasukan pengawal, dan di depan khalif al-Makmun, mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluk, seperti ciptaannya yang lain.

Setelah itu al-Makmun memerintahkan untuk mengirimkan para fuqaha dan seluruh masyaikh. Tujuh orang muhaditsin di atas harus menyatakan pendirinnya di depan mereka. Pada saat itu ada al-Imam Ahmad bin Hambal, seorang tokoh yang paling terkemuka di kalangan muhaditsin. Tetapi namanya tidak tercantum. Konon katanya, karena beliau merupakan tokoh paling keras dalam memprtahankan pendiriannya. Karena hal ini lah maka hakim agung Ahmad ibnu Abi Daud memberikan kebijakan agar beliau jangan dulu dipanggil. Imam Ahmad bin Hambal sangat menyesalkan sikap ke tujuh tokoh tersebut.

Kitab sejarah mencatat secara terperinci tentang jalan pemeriksaan terhadap satu-persatunya. Disini akan di kemukakan dua contoh saja

Mihnat-pertama

Ishaq bin Ibrahim : Apa pendirian anda tentang al-Qur’an mahkluk

Bisyri : allah menciptakan setiap sesuatunya
Ishaq : apakah al-Qur’an itu temasuk sesuatu?
Bisyri : al-Qur’an itu termasuk sesuatu
Ishaq : apakah al-Quran itu termasuk makhluk, yakni ciptaan?
Bisyri : bukan khaliq
Ishaq : saya bukan bertanya hal itu, apakah al-Quran itu suatu makhluk, yakni ciptaan Allah?
Bisyri : saya tidak hendak melebihi dari apa yang sudah saya ucapkan.

Mihnat – kedua

Ishaq : apakah al-Quran itu suatu makhluk?

Ahmad ibn Hambal : al-Quran itu kalam Allah.

Ishaq : apakah suatu makhluk?

Ahmad : Kalam Allah, dan saya tidak hendak menambah lebih dari itu.

Ishaq : apakah pengertian Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?

Ahmad : seperti yang dimaksudkan Allah dengan sifat dirinya itu.

Ishaq : apa pengertiannya?

Ahmad : saya tidak tahu. Allah lebih Maha Tahu akan sifat dirinya.


Seperti dilakukan pemeriksaan, maka laporannya dikirim kepada al-Makmun. Meneliti bunyi jawaban yang diberikan al-Makmun sangat murka dan menganggap mereka kekanak-kanakan dalam berfikir. Maka dia memerintahkan untuk memeriksa kembali, dan jika tetap pada syiriknya, maka harus dijatuhi hukuman mati dan dikirim kepalanya kepada al-Makmun. Jika bertobat, maka harus disiarkan didepan umum

30 orang tokoh di periksa kembali, sebagian besar mengakui al-Qur’an ciptaan Allah. Sisanya tinggal 4 orang kemudian di belenggu dan di masukan tahanan. Setelah di belenggu dan dan di tahan al-Imam Sajjadat dan Imam al-Qariri mengakui al-Qur’an itu mahkluk. Sisanya tinnnggal dua orang, yaitu Imam Ahmad binHambal dan Imam Muhammad ibn Nuh. Sewaktu dalam perjalanan hendak di kirim al-Makmun wafat. Akhirnya keduanya di pulangkan kembali ke Baghdad.

Mihnat Pada Masa Al-Muktashim

Al-Muktashim mendapat amanat dari al-Makmun untuk melanjutkan mihnat. Sementara al-Muktashim sendiri tidak mempunyai alas pikiran baru tentang mihnat, ia hanya melanjutkan saja. Pada masa Ahmad ibn Hambal yang sangat teguh pendiriannya di periksa kembali. Pada saat itu beliau telah berusia 54 tahun. Beliau berpendapat bahwa Allah sendiri menjadikan kata ja’ala terhadap al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan kata kataba terhadap al-Qur’an. Tetapi Allah tidak pernah mempergunakan kata menciptakan (khalaqa) terhadap al-Qur’an.

Al-Muktashim berpendapat Ahmad ibn Hambal hanya pandai bersilat lidah saja. Akhirnya beliau di hukum cambuk dengan cameti sebanyak 38 kali, sehingga punggungnuya berdarah-darah dan bersoyak-soyak. Adapun hakim agung Ahmad ibn Abi Daud mendorong khalifah untuk menjatuhkan hukuman mati, tetapi karena kekaguman khalifah terhadap Imam Ahmad, maka beliau hanya di beri hukum cambuk saja. 7 tahun setelah pemeriksaan Ahmad ibn Hambal, al-Muktashim wafat.

Mihnat pada masa Harun Al-Watsik

Mihnat pada masa ini berlangsung lebih ketat. Sejarah mencatat tragedi yang sanagt ketat, yaitu yang menimpa Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam, yang mempaertahankan pendapat al-Qur’an itu bukan mahkluk. Khalifah sendiri yang memancung kepala Ahmad ibn Nashar, dan kepalanya silih berganti dipancangkan di setiap penjuru kota. Selain itu dibuat plakat yang di tulis sendiri oleh khalifah yang berisi mengkafirkan Ahmad ibn Nashar.

Itulah yang menjadi noda hitam dalam sejarah Mu’tazilah. Yang tadinya berprinsip kebebasan kemauan dan kebebasan kehendak, tetapi pada akhirnya memaksakan kehendak kepada setiap masyarakat muslim. Hal inilah yang menyebabkan kalangan ulama mutakhirin sangat membenci dan memusuhi Mu’tazilah. Setelah al-Watsiq wafat khalif al-Mutawakkil menghentikan mihnat dan mencabut madzhab resmi. Demikianlah mihnat berlangsung selama 34 tahun, bersamaan dengan kejayaan aliran Mu’tazilah saat itu.

F. Kebangkitan Kembali Mu’tazilah

Secara formal, Mu’tazilah sudah tidak ada, tetapi secara substansi paradigma pemikiran kalamnya yang rasional masih hidup dan berkembang hingga sekarang. Kecenderungan tersebut seperti terlihat dalam wacana teologi rasional Muhammad Abduh, teologi liberal dan pembebasan Ali enginer. Islam kiri (yasar Islami) Hasan Hanafi serta dekontruksi atau reformasi hukum Thaha Husein dan M Abdullah Na’im. Barangkali masih banyak lagi tokoh-tokoh yang mempunyai paradigma berfikir seperti Mu’tazilah baik di kalangan Arab maupun di belahan dunia dimanapun.

Wallahu a’lam bi al shawwab

(TULISAN INI TELAH DIPRESENTASIKAN OLEH PENULIS DI KAMPUS PASCA SARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM KONSENTRASI ILMU PENDIDIKAN ISLAM DENGAN DIBIMBING OLEH PROF. DR. H. AFIF MUHAMMAD, M.A. DIREKTUR PASCA SARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)

p

c) Rukyat bi al-Abshar. Maknanya melihat dengan pandangan mata. Pada aliran sunni terdapat pendapat bahwa pada hari kemudian ahli surga akan dianugerahi nikmat tertinggi, yaitu kesempatan untuk menyaksikan zat Allah. Pendapat ini ditolak oleh Mu’tazilah dengan alasan : (1) Oleh karena Allah bukan suatu tubuh, maka Allah bukan suatu arah. Karena Allah bukan pada suatu arah, maka manusia tidak akan pernah dapat menyaksikannya, karena setiap yang disaksikan itu mestilah berada pada suatu arah dari pihak yang menyaksikan (Joesoef Sou’yb :2. ) (2) Allah sendiri dalam QS Al An’am:103 berfirman : Dia tidak tertangkap oleh pandangan mata dan Dia menangkap pandangan mata.  Ayat lainnya tentang kisah Nabi Musa, terdapat dalam QS Al-A’raf : 143, Allah berfirman : Kamu sekali-kali tidak dapat melihatKu, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, niscaya kamu dapat melihatKu. Dikisahkan betapa gunung itu terguncang dahsyat, sehingga Nabi Musapun jatuh pingsan. Berdasarkan kedua ayat Al-Quran itu Mu’tazilah menolak berbagai hadits yang memberikan kesan seakan-akan manusia dapat menyaksikan Allah.

Perbedaan ini menjadi pangkal sengketa yang sangat tajam antara Mu’tazilah dan sunni. Aliran Sunni berpendapat Mu’tazilah terlampau menilai persoalannya dari sudut pandangan mata yang biasa berlaku bagi manusia. Sunni berpendapat persoalan tentang menyaksikan zat Allah ini diserahkan kepada Allah, karena semuanya merupakan persoalan alam ghaib belaka Kewajiban manusia hanya beramal dan berbuat kebajikan sebnyak mungkin.

d) Tentang sifat-sifat Ilahi. Ada 7 sifat yang dikaji oleh Mu’tazilah, yaitu al-‘ilm, al-Hayyat, al-Qudrat, al-Iradat, al-Sama’, al-Bashar, al-Kalam. Persoalannya adalah apakah sifat-sifat tersebut terpisah dari zat Allah atau tidak? Azali atau tidak? Itu adalah persoalan yang diajukan oleh orang diluar Islam pada masa perkembangan kekuasaan Islam ke dalam wilayah imperium Roma dan Parsi, dan orang-orang yang baru memeluk Islam.

Jika dinyatakan azali, maka akan terbukti bahwa yang azali itu banyak. Jika dinyatakan bukan azali, maka akan timbul soal baru, bagaimana mungkin zat Allah yang azali bisa ditempeli oleh yang baru. Mu’tazilah berpendapat sifat-sifat tersebut merupakan kebaruan, tambahan-tambahan pada kedirian Ilahi, sesuatu yang mendatang atau sesuatu yang berdiri sendiri.

Dengan demikian Mu’tazilah menolak dan meniadakan seluruh sifat Ilahi, dan hanya mengakui zat Allah saja. Allah itu Maha Esa, tidak terbagi dan tidak punya sifat. Esa dalam seluruh perbuatannya tanpa ada sekutu, tidak ada yang azali kecuali zat-Nya, tidak terbagi dalam seluruh perbuatanNya. Mustahil ada dua yakni zat dan sifat. Karena pendiriannya ini Mu’tazilah disebut al-Mu’atillah, yang mengosongkan zat Allah dari sifat-sifatNya.

Prinsip Kedua tentang keadilan (al-‘Adlu). Ada tiga masalah dalam hal ini, yaitu :

a) Masalah Kebajikan (al-Shilah) dan Kebajikan lebih (al-Ashlah). Menurut mereka Allah Maha Agung itu suci untuk mengambil manfaat/guna bagi diriNya, melainkan mendatangkan manfaat bagi yang lainnya( makhluk ciptaanNya). Karenanya setiap perbuatan Allah itu karena suatu sebab, untuk suatu tujuan, yakni kegunaan bagi hambaNya. Maka setiap buatan Allah itu dimaksudkan untuk kebajikan (al-shilah) bagi hambaNya belaka. Mu’tazilah yang lainnya lebih ekstrim lagi tentang hal ini, mereka berpendapat “berbuat sesuatu yang lebih berkebajikan (al-Ashlah) bagi hambaNya, merupakan suatu kemestian bagi Allah.

Kalangan muhaditsin berpendapat tentang hal tersebut, bahwa kita tidak akan mengenal bahkan tidak akan mampu mengenali hakikat Allah, karenanya kita harus selalu khidmat dan berserah diri dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah

b) Tentang Baik dan buruk. Baik dan buruk merupakan esensi suatu perbuatan. Benar itu esensinya baik. Bohong itu esensinya buruk. Akal mampu mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Syari’at bukan menetapkan dan akal bukan menentukan. Karena zat dari sesuatunya itu sendiri memang baik dan buruk, bukan disebabkan faktor luar. Alasannya : (1) Sebelum kedatangan syari’at Ilahi, akal telah mengenali baik dan buruk pada buatan. (2) Jika sesuatu tidak memiliki baik dan buruk sepanjang esensinya, yakni sepanjang zatnya, niscaya para Rasul tidak akan mampu berbicara dan  berdakwah. (3) Jika sesuatu itu tidak memiliki baik dan buruk sepanjang esensinya, yakni baik dan buruk ditetapkan syari’at, maka tentulah para ahli hukum (fuqoha) tidak boleh menggunakan akal di dalam masalah-masalah yang tidak ada dalam nash.

c) Tentang kemauan bebas. Tidak semua gerak laku manusia diciptakan Allah. Alasannya (1) Manusia sendiri dengan insyaf membedakan antara gerak sadar dan gerak tidak sadar, seperti gerak naik dan turun naik tangga (2) Dalam Islam ada pembunuhan sengaja dan tidak sengaja, ini menunjukkan pemisahan gerak laku manusia (3) Jika manusia bukan menciptakan sendiri gerak sadarnya, niscaya gugurlah taklif (tanggung jawab) atas dirinya. (4) Jika Allah betul melaksanakan sendiri setiap gerak laku manusia, termasuk kekufuran, kedurhakaan, kejahatan, maka hal itu menunjukkan ia tidak rela atas buatanNya sendiri, murka kepada ciptaanNya sendiri, karena ia menetapkan ancaman terhadap kekufuran dan kedurhakaan dan kejahatan itu.

Intinya Mu’tazilah memandang bahwa kebebasan merupakan hak azasi makhlukNya. Aksioma ini menentang faham determinisme (jabariyah), faham perantara gereja, dan penganjur atas keunggulan wahyu atas akal.  Dengan prinsip al-‘Adl ini Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhlukNya. (Bersambung)


Demi Waktu

Kalender

Juli 2009
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Belajar Menghias Blog dengan Animasi

Blog Stats

  • 10.878 hits

Pendidikan