Ani Nuraini's Blog

Prinsip ketiga tentang doktrin al-Wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman).

Allah melalui rasulnya telah mengemukakan anjuran (wa’ad) terhadap kewajiban-kewajiban tertentu dengan janji imbalan pahala bagi satu persatunya dan telah mengemukakan ancaman (wa’id) terhadap kejahatan–kejahatan tertentu dengan janji imbalan siksa atas satu persatunya. Pelanggaran terhadap hal-hal yang di ancam itu bisa berbebtuk pelanggaran-pelanggaran kecil (al-Shagair) dan pelanggarang-pelanggaran besar (al-Kabair). Di antara pelanggaran besar itu ada yang mencapai tingkat kufur, dan pelakunya di sebut kafir. Di antara pelanggaran-pelanggaran besar itu ada yang tidak mencapai tingkat kufur,maka pelakunya di sebut fasiq. Kedudukan orang fasiq itu terletak di antara dua kedudukan lainnya, yaitu bukan mukmin dan bukan kafir. Ini berkaitan dengan prinsip ke empat, yaitu tempat di antara dua tempat (al-manzilatu bain al-manzilatin). Kedudukan orang fasiq itulah yang di panggil al-manzilatu bain al-manzilatain. Prinsip ke lima, menyuruh kepada kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Untuk memelihara pemurnian keimanan itu perlu terlaksana perintah menyuruh kepada kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar) dengan jalan apapun juga. Untuk melaksanakan hal ini Mu’tazilah bersikap sangat keras terhadap saudara muslimnya, seperti dapat di saksikan pada peristiwa tragis sehubungan dengan masalah al-Qur’an itu kalam Allah ataukah hanya ciptaan Allah. Sikap Mu’tazilah dalam amar ma’ruf nahi munkar ini mirip dengan sekte Khawarij yang menganggap seluruh pendirian-pendirian yang di anutnya. Dalam menerapkan prinsip inilah mu’tazilah meninggalkan cacat, sebuah jejak hitam dalam sejarah sehingga kedudukan nya berakhir sebagai mazhab resmi.

D. Metode Kalam Mu’tazilah

Dengan memahami konteks sumber tradisi pemikiran Mu’tazilah yang mempengaruhi nalar mu’tazilah dapat di fahami bahwa srtuktur nalar atau akal Mu’tazilah adalah rasionalitas. Sumber tradisi pemikiran yang telah di jelaskan di muka sangat menentukan cara kerja intelektual atau metode kalam Mu’tazilah.

Karakteristik Mu’tazilah sanagat gemar dan sangat ekstrim dalam menggunakan akal. Hal ini dapat di lihat pada kasus bagaimana al-Qur’an dinterpretasikan.

Untuk menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar islam Mu’tazilah melawan argumentasi, kekuatan akal di lawan dengan kekuatan akal, setiap sususnan pikiran dari pihak lawan di patahkan dengan susun pikiran yang logis dan rasionil. Kekuatan ratio (akal) adalah senjata satu-satunya bagi menghadapi berbagai keyakinan dan ajaran itu. Jikalau ajaran Islam kalah pada saat itu, maka Islam akan di telan oleh kebudayaan besar yang di taklukannya. Artinya dalam menemukan dalil untuk menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak di ketahui selain dalil nash. Kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya di batasi oleh penghormatan mereka kepada syara’. Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal, yang dapat di terima akal meraka terima, yang tidak dapat di terima akal mereka tolak.

Adapun cara kerja intelektual Mu’tazilah dapat di lihat di muka dalam doktrin-doktrin Mu’tazilah yang di kenal dengan pancasila Mu’tazilah.

E. Mihnat (pemeriksaan)

Sebagai implikasi dan doktrin tauhid, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an bukan kalam Allah, tetapi hanya manifestasi dari kalam allah , jadi al-Qur’an cuma suatu mahkluk, suatu ciptaan sama dengan ciptaan yang lainnya. Karena cuma satu mahkluk al-Qur’an tidak qadim dan tidak azali. Pandangan ini tidak dapat di terima oleh kalangan muhaditsin.

Mihnat Pada Masa Al Makmun

Pada masa khalif al-makmun, mu’tazilah menjadi madzhab resmi Abbasiyah. Al-makmun sangat mengagumi cara berfikir Mu’tazilah. Sehingga untuk melaksanakan salah satu doktrin Amar ma’ruf nahi munkar al-Makmun mengirimkan surat-surat kepada para gubernur untuk melakukan mihnat. Surat yang pertama di mulai dengan menjelaskan sebab-sebab yang mendorong al-Makmun mengeluarkan perintah resmi, sebagai khalifah ia wajib memelihara kemurnian agama islam dan menegakkan keyakinan yang benar (al-Haq) dalam lingkungan pemeluk agama islam. Ahmad Amin dalam karyanya Dhuhul Islami jilid 3, menyimpulkan isi surat al-Makmun dalam 5 hal, yaitu : (a) al-Makmun merasa dirinya berkewajiban untuk memelihara kemurnian islam dari setiap kekeliruan. (b) Lapisan awam pada saat itu sangat mempermasalahkan kejadian al-Qur’an sedangkan mereka beranggapan bahwa al-Qur’an qadim karena al-Qur’an itu kalam Allah, mereka mengikuti pandangan para pemuka agama, termasuk para muhaditsin. (c) Banyak para hakim yang menduduki jabatan peradilan menganut keazalian al-Qur’an. (d) Keputusan hakim dan kesaksian orang yang menganut keazalian al-Qur’an tidak dapat di perangi, kecuali keyakinannya benar. (e) al-Makmun tidak bersedia mempercayakan jabatan agung tersebut kepada seorangpun, kecuali iman dan tauhidnya benar.

Pada saat itu tokoh Mu’tazilah terbesar menjadi hakim agung, yaitu Ahmad ibnu Abi Daud, dia memberikan pandangan untuk mengumumkan pendiriannya dan menjadikan mu’tazilah sebagai madzhab resmi.

Berdasarkan surat-surat al-Makmun yang di perbanyak dan di kirimkan kepada para gubernur barat dan timur, maka perintah resmi mihnat di laksanakan. Di Baghdad Emir Ishaq bin Ibrahim memerintahkan tujuh orang terkemuka dari kalangan muhaditsin dikirim ke untuk di mihnat. Mereka itu adalah Muhammad bin Saad, Abu Muslim Abdurahman bin Yunus, Yahya bin Ma’in, Subair bin Harb abu Khaitsamat, Ismail bin Daud, Ismail bin Mas’ud, dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauraqi. Mereka di antar oleh pasukan pengawal, dan di depan khalif al-Makmun, mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluk, seperti ciptaannya yang lain.

Setelah itu al-Makmun memerintahkan untuk mengirimkan para fuqaha dan seluruh masyaikh. Tujuh orang muhaditsin di atas harus menyatakan pendirinnya di depan mereka. Pada saat itu ada al-Imam Ahmad bin Hambal, seorang tokoh yang paling terkemuka di kalangan muhaditsin. Tetapi namanya tidak tercantum. Konon katanya, karena beliau merupakan tokoh paling keras dalam memprtahankan pendiriannya. Karena hal ini lah maka hakim agung Ahmad ibnu Abi Daud memberikan kebijakan agar beliau jangan dulu dipanggil. Imam Ahmad bin Hambal sangat menyesalkan sikap ke tujuh tokoh tersebut.

Kitab sejarah mencatat secara terperinci tentang jalan pemeriksaan terhadap satu-persatunya. Disini akan di kemukakan dua contoh saja

Mihnat-pertama

Ishaq bin Ibrahim : Apa pendirian anda tentang al-Qur’an mahkluk

Bisyri : allah menciptakan setiap sesuatunya
Ishaq : apakah al-Qur’an itu temasuk sesuatu?
Bisyri : al-Qur’an itu termasuk sesuatu
Ishaq : apakah al-Quran itu termasuk makhluk, yakni ciptaan?
Bisyri : bukan khaliq
Ishaq : saya bukan bertanya hal itu, apakah al-Quran itu suatu makhluk, yakni ciptaan Allah?
Bisyri : saya tidak hendak melebihi dari apa yang sudah saya ucapkan.

Mihnat – kedua

Ishaq : apakah al-Quran itu suatu makhluk?

Ahmad ibn Hambal : al-Quran itu kalam Allah.

Ishaq : apakah suatu makhluk?

Ahmad : Kalam Allah, dan saya tidak hendak menambah lebih dari itu.

Ishaq : apakah pengertian Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?

Ahmad : seperti yang dimaksudkan Allah dengan sifat dirinya itu.

Ishaq : apa pengertiannya?

Ahmad : saya tidak tahu. Allah lebih Maha Tahu akan sifat dirinya.


Seperti dilakukan pemeriksaan, maka laporannya dikirim kepada al-Makmun. Meneliti bunyi jawaban yang diberikan al-Makmun sangat murka dan menganggap mereka kekanak-kanakan dalam berfikir. Maka dia memerintahkan untuk memeriksa kembali, dan jika tetap pada syiriknya, maka harus dijatuhi hukuman mati dan dikirim kepalanya kepada al-Makmun. Jika bertobat, maka harus disiarkan didepan umum

30 orang tokoh di periksa kembali, sebagian besar mengakui al-Qur’an ciptaan Allah. Sisanya tinggal 4 orang kemudian di belenggu dan di masukan tahanan. Setelah di belenggu dan dan di tahan al-Imam Sajjadat dan Imam al-Qariri mengakui al-Qur’an itu mahkluk. Sisanya tinnnggal dua orang, yaitu Imam Ahmad binHambal dan Imam Muhammad ibn Nuh. Sewaktu dalam perjalanan hendak di kirim al-Makmun wafat. Akhirnya keduanya di pulangkan kembali ke Baghdad.

Mihnat Pada Masa Al-Muktashim

Al-Muktashim mendapat amanat dari al-Makmun untuk melanjutkan mihnat. Sementara al-Muktashim sendiri tidak mempunyai alas pikiran baru tentang mihnat, ia hanya melanjutkan saja. Pada masa Ahmad ibn Hambal yang sangat teguh pendiriannya di periksa kembali. Pada saat itu beliau telah berusia 54 tahun. Beliau berpendapat bahwa Allah sendiri menjadikan kata ja’ala terhadap al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan kata kataba terhadap al-Qur’an. Tetapi Allah tidak pernah mempergunakan kata menciptakan (khalaqa) terhadap al-Qur’an.

Al-Muktashim berpendapat Ahmad ibn Hambal hanya pandai bersilat lidah saja. Akhirnya beliau di hukum cambuk dengan cameti sebanyak 38 kali, sehingga punggungnuya berdarah-darah dan bersoyak-soyak. Adapun hakim agung Ahmad ibn Abi Daud mendorong khalifah untuk menjatuhkan hukuman mati, tetapi karena kekaguman khalifah terhadap Imam Ahmad, maka beliau hanya di beri hukum cambuk saja. 7 tahun setelah pemeriksaan Ahmad ibn Hambal, al-Muktashim wafat.

Mihnat pada masa Harun Al-Watsik

Mihnat pada masa ini berlangsung lebih ketat. Sejarah mencatat tragedi yang sanagt ketat, yaitu yang menimpa Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam, yang mempaertahankan pendapat al-Qur’an itu bukan mahkluk. Khalifah sendiri yang memancung kepala Ahmad ibn Nashar, dan kepalanya silih berganti dipancangkan di setiap penjuru kota. Selain itu dibuat plakat yang di tulis sendiri oleh khalifah yang berisi mengkafirkan Ahmad ibn Nashar.

Itulah yang menjadi noda hitam dalam sejarah Mu’tazilah. Yang tadinya berprinsip kebebasan kemauan dan kebebasan kehendak, tetapi pada akhirnya memaksakan kehendak kepada setiap masyarakat muslim. Hal inilah yang menyebabkan kalangan ulama mutakhirin sangat membenci dan memusuhi Mu’tazilah. Setelah al-Watsiq wafat khalif al-Mutawakkil menghentikan mihnat dan mencabut madzhab resmi. Demikianlah mihnat berlangsung selama 34 tahun, bersamaan dengan kejayaan aliran Mu’tazilah saat itu.

F. Kebangkitan Kembali Mu’tazilah

Secara formal, Mu’tazilah sudah tidak ada, tetapi secara substansi paradigma pemikiran kalamnya yang rasional masih hidup dan berkembang hingga sekarang. Kecenderungan tersebut seperti terlihat dalam wacana teologi rasional Muhammad Abduh, teologi liberal dan pembebasan Ali enginer. Islam kiri (yasar Islami) Hasan Hanafi serta dekontruksi atau reformasi hukum Thaha Husein dan M Abdullah Na’im. Barangkali masih banyak lagi tokoh-tokoh yang mempunyai paradigma berfikir seperti Mu’tazilah baik di kalangan Arab maupun di belahan dunia dimanapun.

Wallahu a’lam bi al shawwab

(TULISAN INI TELAH DIPRESENTASIKAN OLEH PENULIS DI KAMPUS PASCA SARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM KONSENTRASI ILMU PENDIDIKAN ISLAM DENGAN DIBIMBING OLEH PROF. DR. H. AFIF MUHAMMAD, M.A. DIREKTUR PASCA SARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)

p

c) Rukyat bi al-Abshar. Maknanya melihat dengan pandangan mata. Pada aliran sunni terdapat pendapat bahwa pada hari kemudian ahli surga akan dianugerahi nikmat tertinggi, yaitu kesempatan untuk menyaksikan zat Allah. Pendapat ini ditolak oleh Mu’tazilah dengan alasan : (1) Oleh karena Allah bukan suatu tubuh, maka Allah bukan suatu arah. Karena Allah bukan pada suatu arah, maka manusia tidak akan pernah dapat menyaksikannya, karena setiap yang disaksikan itu mestilah berada pada suatu arah dari pihak yang menyaksikan (Joesoef Sou’yb :2. ) (2) Allah sendiri dalam QS Al An’am:103 berfirman : Dia tidak tertangkap oleh pandangan mata dan Dia menangkap pandangan mata.  Ayat lainnya tentang kisah Nabi Musa, terdapat dalam QS Al-A’raf : 143, Allah berfirman : Kamu sekali-kali tidak dapat melihatKu, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, niscaya kamu dapat melihatKu. Dikisahkan betapa gunung itu terguncang dahsyat, sehingga Nabi Musapun jatuh pingsan. Berdasarkan kedua ayat Al-Quran itu Mu’tazilah menolak berbagai hadits yang memberikan kesan seakan-akan manusia dapat menyaksikan Allah.

Perbedaan ini menjadi pangkal sengketa yang sangat tajam antara Mu’tazilah dan sunni. Aliran Sunni berpendapat Mu’tazilah terlampau menilai persoalannya dari sudut pandangan mata yang biasa berlaku bagi manusia. Sunni berpendapat persoalan tentang menyaksikan zat Allah ini diserahkan kepada Allah, karena semuanya merupakan persoalan alam ghaib belaka Kewajiban manusia hanya beramal dan berbuat kebajikan sebnyak mungkin.

d) Tentang sifat-sifat Ilahi. Ada 7 sifat yang dikaji oleh Mu’tazilah, yaitu al-‘ilm, al-Hayyat, al-Qudrat, al-Iradat, al-Sama’, al-Bashar, al-Kalam. Persoalannya adalah apakah sifat-sifat tersebut terpisah dari zat Allah atau tidak? Azali atau tidak? Itu adalah persoalan yang diajukan oleh orang diluar Islam pada masa perkembangan kekuasaan Islam ke dalam wilayah imperium Roma dan Parsi, dan orang-orang yang baru memeluk Islam.

Jika dinyatakan azali, maka akan terbukti bahwa yang azali itu banyak. Jika dinyatakan bukan azali, maka akan timbul soal baru, bagaimana mungkin zat Allah yang azali bisa ditempeli oleh yang baru. Mu’tazilah berpendapat sifat-sifat tersebut merupakan kebaruan, tambahan-tambahan pada kedirian Ilahi, sesuatu yang mendatang atau sesuatu yang berdiri sendiri.

Dengan demikian Mu’tazilah menolak dan meniadakan seluruh sifat Ilahi, dan hanya mengakui zat Allah saja. Allah itu Maha Esa, tidak terbagi dan tidak punya sifat. Esa dalam seluruh perbuatannya tanpa ada sekutu, tidak ada yang azali kecuali zat-Nya, tidak terbagi dalam seluruh perbuatanNya. Mustahil ada dua yakni zat dan sifat. Karena pendiriannya ini Mu’tazilah disebut al-Mu’atillah, yang mengosongkan zat Allah dari sifat-sifatNya.

Prinsip Kedua tentang keadilan (al-‘Adlu). Ada tiga masalah dalam hal ini, yaitu :

a) Masalah Kebajikan (al-Shilah) dan Kebajikan lebih (al-Ashlah). Menurut mereka Allah Maha Agung itu suci untuk mengambil manfaat/guna bagi diriNya, melainkan mendatangkan manfaat bagi yang lainnya( makhluk ciptaanNya). Karenanya setiap perbuatan Allah itu karena suatu sebab, untuk suatu tujuan, yakni kegunaan bagi hambaNya. Maka setiap buatan Allah itu dimaksudkan untuk kebajikan (al-shilah) bagi hambaNya belaka. Mu’tazilah yang lainnya lebih ekstrim lagi tentang hal ini, mereka berpendapat “berbuat sesuatu yang lebih berkebajikan (al-Ashlah) bagi hambaNya, merupakan suatu kemestian bagi Allah.

Kalangan muhaditsin berpendapat tentang hal tersebut, bahwa kita tidak akan mengenal bahkan tidak akan mampu mengenali hakikat Allah, karenanya kita harus selalu khidmat dan berserah diri dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah

b) Tentang Baik dan buruk. Baik dan buruk merupakan esensi suatu perbuatan. Benar itu esensinya baik. Bohong itu esensinya buruk. Akal mampu mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Syari’at bukan menetapkan dan akal bukan menentukan. Karena zat dari sesuatunya itu sendiri memang baik dan buruk, bukan disebabkan faktor luar. Alasannya : (1) Sebelum kedatangan syari’at Ilahi, akal telah mengenali baik dan buruk pada buatan. (2) Jika sesuatu tidak memiliki baik dan buruk sepanjang esensinya, yakni sepanjang zatnya, niscaya para Rasul tidak akan mampu berbicara dan  berdakwah. (3) Jika sesuatu itu tidak memiliki baik dan buruk sepanjang esensinya, yakni baik dan buruk ditetapkan syari’at, maka tentulah para ahli hukum (fuqoha) tidak boleh menggunakan akal di dalam masalah-masalah yang tidak ada dalam nash.

c) Tentang kemauan bebas. Tidak semua gerak laku manusia diciptakan Allah. Alasannya (1) Manusia sendiri dengan insyaf membedakan antara gerak sadar dan gerak tidak sadar, seperti gerak naik dan turun naik tangga (2) Dalam Islam ada pembunuhan sengaja dan tidak sengaja, ini menunjukkan pemisahan gerak laku manusia (3) Jika manusia bukan menciptakan sendiri gerak sadarnya, niscaya gugurlah taklif (tanggung jawab) atas dirinya. (4) Jika Allah betul melaksanakan sendiri setiap gerak laku manusia, termasuk kekufuran, kedurhakaan, kejahatan, maka hal itu menunjukkan ia tidak rela atas buatanNya sendiri, murka kepada ciptaanNya sendiri, karena ia menetapkan ancaman terhadap kekufuran dan kedurhakaan dan kejahatan itu.

Intinya Mu’tazilah memandang bahwa kebebasan merupakan hak azasi makhlukNya. Aksioma ini menentang faham determinisme (jabariyah), faham perantara gereja, dan penganjur atas keunggulan wahyu atas akal.  Dengan prinsip al-‘Adl ini Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhlukNya. (Bersambung)

Hari ini telah kubaca sebuah buku yang saat membacanya membuat air mata ini mengalir.. tiada henti. Kukutipkan beberapa isi diantaranya yang mudah-mudahan dapat memotivasi kita semua dalam berbuat kebaikan…

Khalifah Umar menuturkan sebuah riwayat : Pada suatu hari, Rasulullah meminta bantuan dana kepada kami. Berhasrat untuk melebihi ABu Bakar, yang selalu berada di atasku, dalam setiap perbuatan baik. Aku membawa separuh harta kekayaanku dan datang menemui Rasulullah. Lalu kuberitahukan akepada beliau bahwa sumbangan ini separuh dari segala yang kumiliki. Sedangkan sisanya kutinggalkan untuk keluargaku. Abu Bakar datang membawa sekantung besar emas dan meletakkannya di kaki Rasulullah. Rasulullah bertanya tentang jumlah sumbangan yang diberikan itu kira-kira berapa persen dari harta yang dimilikinya. Abu Bakar menjawab ” semuanya” Rasulullah menatapku, lalu bertanya kepada Abu Bakar ” Menagapa tidak engkau simpan sebagian untuk anak-anakmu?” Abu Bakar menjawab ” Anak-anakku berada di bawah pemeliharaan Allah dan Rasul-Nya” ( Subhanallah… Ya Allah jadikan Hamba-Mu ini memiliki sikap dan pendirian seperti sahabat Rasul itu… )

Fata sejati berkata : ” Jangan menentang orang yang kau cintai dalam apa-apa yang disukainya dan yang tidak disukainya. Menyukai sesuatu yang tidak disukai orang yang kau cintai tidak mencerminkan kemurahan hati. Bisyr Ibn Al-Harits lalu membaca sebait syair : ” Aku masih mencintaimu, dan akupun menyayangi musuh-musuhku, cintaku pada mereka sama seperti kasih sayangku padamu. Bila engkau menghinaku, akupun mencela diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku dapat berbaik hati terhadap orang yang engkau anggap keji?”

Jika nasib memisahkan engkau dari orang yang kau kasihi, saudara dan sahabatmu, tiada lagi kesenangan yang tersisa dalam hidup ini .

Bila engkau mengajak oranglain, engkau akan teringat padaku dan menyadari betapa berartinya aku bagimu. Ketika engkau bangkit dan memberontak, aku tetap rendah hati.

Jadilah kekasih yang dengan senang hati menuruti segala harapan orang yang dicintainya.

Seseorang yang Engkau dekatkan kepada-Mu tak akan dapat berdiri jauh dari-Mu. Seseorang yang telah terperangkap cinta tak kan sanggup pergi jauh meninggalkan-Mu. Bila mata ini tak mampu menatap-Mu hati ini dapat merasakan kehadiran-Mu….


Judul Buku : Futuwwah

Karangan : Ibn Al-Husain As-Sulami

Ketika azan subuh dikumandangkan

Dan pujian keagunganMu dilantunkan

Terbayang dosa demi dosa telah dilakukan

Saat yang lalu do’a telah kupanjatkan,

Mengharap Engkau sudi untuk mengabulkan

Tak henti air mata ini mengalir

Tak henti mulut ini mengucap

Harapan yang terdalam

Tercurah sudah semua hasrat do’aku memohon padaMu

Sesaat kemarin Engkau telah menjawab do’a itu

Mengalir lagi air mata ini…

Bukan tanda bahagia karena do’a sudah terjawab

Tapi, sebagai tanda pilu hati karena pernah meragukanMu

Hamba datang meminta padaMu saat membutuhkanMu

Engkau dengar permintaan itu…

Hamba datang padaMu mengharap pertolonganMu

Engkau dengar pula harapan itu…

Hamba berkeluh kesah atas derita hidup padaMu

Engkau masih pula mau mendengar keluh kesah itu ya Rabb…

Saat hamba merasa sedih Engkau turut bersedih

Saat hamba terluka, kesejukkan do’a yang kupanjatkan mengobati luka

Saat bahagia itu telah datang…

Adakah hambaMu ini datang kembali padaMu wahai Rabb?

Saat do’a-do’a itu telah Engkau jawab…

Adakah hambaMu ini ingat jua padaMu?

Saat hambaMu sangat bersemangat…

Adakah Engkau dengar hambaMu ini mengadu padaMu?

Hamba gembira ya Rabb…Karena sangat gembira hamba lupa..

Engkau sedang cemburu…Engkau sedang bersedih…

Hamba bahagia ya Rabb…Karena sangat bahagia hamba lupa…

Engkau rindu mendengar cerita…Hamba lupa…

Engkau masih setia menunggu…

Wahai Rabb….

Kini hati ini terluka, mata ini menangis… karena telah melupakanMu…

Kini….

Dalam bahagia hambaMu ini telah kembali…

Wahai Rabb…..

3. Tradisi Yahudi – Kristen

Pihak-pihak yang memeluk islam sesudah perkembangan kekuasaan Islam itu umumnya terdiri atas berbagai keyakinan keagamaan yang berbeda-beda, Yahudi, Nasrani, Mani, Mazdak, Brahma, Budha, dan lain-lain. Mereka lahir dan dewasa dalam keyakinan keagamaan itu dan mempengaruhi sikap hidup dan pikirannya. Bahkan banyak diantara yang memeluk Islam itu adalah pemuka-pemuka agama tersebut dan para imamnya sendiri (Joesoef Sou’yb : 13). Pertemuan antara filsafat Yunani dan Yahudi telah melahirkan rasionalisasi ajaran Yahudi dan Kristen (Hendar Riyadi : 225)

Doktrin gereja dan trinitas mendapat pengaruh filsafat Yunani (Neo-Platonisme) dengan teori emanasinya (limpahan) yang terkenal dengan sebutan platonian, yaitu yang Esa /Unity-Tuhan, Akal murni /Pure-Intelligence dan Jiwa Dunia /World-Soul (Hanafi MA : 40).

Pertemuan yang paling penting antara pertemuan Yahudi dan Mu’tazilah adalah persoalan tasybih (Antropomorfisme). Golongan rasionalis Kristen dan Yahudi inilah yang sering bertemu dengan kaum muslimin dalam meja perdebatan. Wacana keyakinan di atas juga mempengaruhi pemikiran teologi Mu’tazilah.

4. Tradisi Persia-Basrah

Dengan petualangannya Wasil beroleh kontak dengan berbagai bangas dan keyakinan dan adapt istiadat yang memiliki corak-corak tersendiri. Belakangan Wasil menetap di Basrah, Bandar pelabuhan yang teramat makmur di teluk Parsi, lalu ia belajar kepada Imam Hasan al-Bashri (Muhammad Husein Ad-Zahabi : 54).

C. Doktrin-Doktrin Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama (al-ushul al-khamsah) yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu sebagai berikut “

  1. Keesaan Allah (tauhid)
  2. Keadilan (al-‘adlu)
  3. Janji dan ancaman (al-wa’du wa al-wa’id)
  4. Tempat diantara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain)
  5. Menyuruh kepada kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahyi munkar)

Prinsip pertama tentang Keesaan Allah (tauhid) merupakan pokok pikiran pertama aliran Mu’tazilah yang dikenal dalam literatur Arab dengan permasalahan Qaulun bi al-tauhid. Yang termasuk qaulun bi al tauhid diantaranya adalah :

(a) Ayat-ayat kemiripan

Aliran Mu’tazilah dan salaf berpendapat tiada sesuatupun yang mirip dengan Allah “laisa kamislihi syaiun”. Lalu kenapa di dalam Al-Quran sendiri dijumpai ayat-ayat kemiripan yang disebut dengan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang membangkitkan imajinasi setiap orang bahwa Allah itu seolah-olah mirip dengan manusia , dalam filsafat dikenal dengan anthropomorphism, yakni penggambaran atau konsepsi tentang Tuhan / dewa dengan atribut-atribut kemanusiaan. Diantara ayat mutasyabihat itu adalah :

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah : 155)

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS. Al-Fath : 10)

Itulah beberapa contoh seakan-akan Allah menempati anggota tubuh dan menempati arah dan penjuru. Bagaimana memahamkan ayat-ayat tersebut kepada mereka? Pertanyaan tersebut diajukan oleh bekas pemuka agama lain, dan para pemimpin aliran filsafat yang kini memeluk Islam dan sedang mencari kebenaran (Joesoef sou’yb : 22). Menurut Mu’tazilah iman saja tidak cukup untuk mencapai keselamatan. Kita tidak cukup beriman dengan membelakangi akal (Sachiko Murata : 22). Oleh sebab itu terhadap ayat-ayat mutasyabihat berpendapat bahwa itu adalah ungkapan allegoris belaka, yang bersifat kias ibarat di dalam batas-batas pengertian yang bias difahamkan manusia, dan termasuk di dalam lingkungan seni bahasa. Di dalam ilmu al-Balaghah disebut al-Majazi. Jadi untuk menjelaskan pengertian “tangan” pada ayat di atas artinya adalah bukan tangan, melainkan kekuasaan. Dalam hal ini Mu’tazilah telah berjasa menciptakan sebuah ilmu baru yang memperkaya kebudayaan Islam, yaitu ilmu al- Bhalaghah (ilmu seni bahasa) yang terdiri dari tiga bagian, ilmu al-Ma’ani, ilmu al-Bayan, dan ilmu al-Badi”.

(a) Keesaan Ilahi

Alairan Mu’tazilah menjelaskan tentang ke-esaan Ilahi sebagai berikut:

Allah itu Esa. Tiada sesuatupun yang mirip denganNya. Bukan tubuh dan bukan bayangan. Bukan materi dan bukan bentuk. Bukan daging dan bukan darah. Bukan diri dan bukan unsure. Tidak punya warna, rasa, bau, panas, dingin, kering, basah, panjang, lebar, tinggi. Bukan paduan dan bukan pisahan. Bukan bergerak dan bukan diam. Bukan aterbagi, hingga tidak punya paroh atau bagian. Tidak punya tubuh maupun bagian anggota tubuh. Bukan jurusan hingga bukan kanan, kiri, depan, belakang, atas, bawah. Tidak dilingkung tempat dan tidak dibatasi tempo. Tidak berlaku baginya rabaan, pemencilan, penjelmaan pada tempat apapun. Tidak disifati dengan sifat-sifat setiap kejadian yang menunjukan kebaruan….. (Ungkapan Abu Hasan al-Asyari pada saat menjadi pengikut Mu’tazilah)

Andai Kau anugerahkan derita cinta…

Jangan pernah Kau berpikir aku akan menderita…

Jangan pernah pula Kau berpikir aku akan menangis…

Walau pedih laksana pedang menghunjam dada…

Menyayat dan mencabik ulu hati…

Pedih itu tidak akan pernah aku rasa…

Oooo, cinta…

Bagaimana aku dapat berpaling dari sisiMu…

Berliku-liku jalan telah kutempuh untuk menggapaiMu…

Telah banjir peluhku karena mengejar bayangMu…

Oooo, cinta…

Andai Kau mengerti…

Deritaku karena cintaMu…

Tangisanku karena cintaMu…

Oooo, cinta…

Hunjamkan pedangMu dengan kasihMu…

Sayatlah kulitku dengan cintaMu…

Cabiklah hatiku dengan kemurahanMu…

Aku tidak akan mengeluh…

Karena Engkau telah memanggilku…

Cinta……

(Bagian 1)

Setiap sesuatu yang dilakukan oleh manusia memiliki tujuan tertentu. Begitupun halnya dengan tujuan pendidikan. Pendidikan di Indonesia ter-dikotomi ke dalam dua bagian, yaitu pendidikan umum dan pendidikan Agama. Meskipun demikian dalam Tujuannya ada korelasi kuat bahwa tujuan pendidikan umum pada pucuknya sangat mengutamakan pendidikan etika (akhlak).

Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tujuan pendidikanpun tidak lepas dari nilai-nilai Islam. Tujuan pendidikan Islam pertama, menciptakan hamba Allah ( ‘abdullah) yang shaleh dan kedua, menciptakan khalifah fi al ardh.

Mengutip ucapan A. Tafsir bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan “Tuhan kecil” di muka bumi. Sepintas kita akan mengatakan tidak mungkin kita mewujudkan “Tuhan kecil” dimuka bumi ini. Tuhan tetaplah Tuhan, manusia tetaplah manusia. Tidak mungkin kesempurnaan Tuhan disamai oleh manusia.

Dalam Asma’ul Husna yang berarti nama-nama yang baik dan agung bagi Allah, tergambar dengan jelas sifat-sifat Allah yang terdiri dari al-Rahman, al-Rahim, al-Malik, al-Qudus dan sebagainya. Nama-nama itu menggambarkan sifat-sifat Tuhan yang sangat sempurna.

Allah telah menganugerahkan sifat-sifatnya itu pada manusia. Kepada seorang ibu Allah percikan sebagian dari sifatnya yaitu sifat Penyayang agar ibu memiliki rasa sayang yang begitu dalam kepada anaknya. Meskipun kita sebagai orang Islam telah mengetahui sayangnya Allah kepada manusia melebihi sayangnya ibu terhadap anaknya.

BAB I

PENDAHULUAN

Mempelajari dan menganalisa aliran pemikiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran Islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang tertua dan terbesar yang telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia Islam (A Hanafi MA : 64). Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia Islam dalam kemajuan dan kemodernaannya. Disebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran Islam sebagai counter peradaban (civilization counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya dan ekonomi bagi peradaban Islam masa kini.

BAB II

PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH

A. Pengertian

Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab a’tazala, artinya mengambil jarak memisahkan diri (Cyirl Glase : 292). Untuk mengetahui sejarah sebutan Mu’tazilah sangat sulit, karena banyak pendapat yang diajukan untuk menjelaskan awal kelahirannya. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain :

Pertama, Disebut Mu’tazilah karena Wasil bin Ata dan Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan al-Basri di mesjid Basrah, kemudian membentuk pengajiannya sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang amengerjakan dosa besar, tidak mukmin lengkap dan juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam satu tempat diantara dua tempat (Harun Nasution : 38). Kedua, Pendapat kedua menyebutkan bahwa Wasil bin ‘Ata dan Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan al Basri dari majelisnya karena adanya perbedaan pendapat mengenai qadar dan tempat diantara dua tempa Keduanya beserta pengikutnya memisahkan diri dari Hasan al Basri. Mereka disebut Mu’tazilah, karena menjauhkan diri dari faham umat Islam. Ketiga, Istilah i’tazala dan Mu’tazilah telah lama dikenal sebelum terjadinya peristiwa Basrah tersebut. Pendapat ini merujuk kepada sejarah yang menyebutkan bahwa awal kesadaran Mu’tazilah telah lama berkembang sebelum peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan al Basri. Pada saat itu sebutan Mu’tazilah diberikan kepada komunitas yang tidak melibatkan diri dalam konflik politik antara Ali dan Muawiyah (Tha’ib Tahir : 102).

Berbagai pendapat di atas menunjukkan tidak adanya satu kata sepakat dalam sejarah awal kelahiran aliran Mu’tazilah. Tetapi yang sangat jelas adalah aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi liberal dan rasional dalam Islam, yang timbul setelah peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan al Basri.

Sementara kaum Mu’tazilah sendiri lebih menyukai sebutan ahlul ‘adli wa al tauhid, mereka mengakui diri sebagai golongan pembela ketauhidan dan keadilan (Hasan Ibrahim Hasan : t. hal).

B.  Sumber-sumber Pemikiran Mu’tazilah

Secara garis besar, sumber tradisi pemikiran mu’tazilah ada 4, yaitu:

1. Tradisi politik Islam

Doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah sangat berkaitan dengan pemikiran kalam, tetapi secara historis mengandung muatan-muatan politik. Berdasarkan historiografis, jika melihat konteks  sosial ketika doktrin Mu’tazilah itu muncul, akan ditemukan bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah masalah sifat Tuhan, yaitu sifat al qudrat dan al iradat, apakah Tuhan secara azali sudah menetapkan dan menghendaki perbuatan manusia atau tidak. Kemudian melahirkan perseteruan antara yang meyakini kebebasan manusia  yang melahirkan aliran qadariah awal dan yang menafikan kebebasan manusia yang melahirkan mazhab jabariyah.

Doktrin Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak dan diktrin lainnya, dijadikan kekuatan untuk melawan pihak penguasa (Umayah) yang mempertahankan rejimnya dengan argumentasi takdir Tuhan sebagaimana yang dikemukakan tradisionalis (Jabariyah) (Cyril Glase:292). Dalam perjalanan sejarah dapat dilihat mazhab Jabariyahlah yang menjadi ideologi negara yang dianut pada masa Umayah, untuk melindungi dan melegitimasi supremasi kekuasaan yang korup (Hendar Riyadi : 219). Mazhab Qadariyah yang berkeyakinan akan kebebasan manusia  menjadi oposisi pemerintah Umayah. Diantara pertikaian politik antara Jabariyah dan Qadariyah ini muncul Wasil bin ‘Ata dengan al-manzilat baina al-manzilatain ( tempat diantara dua tempat). Pertentangan politik tersebut kemudia dimenangkan oleh Abbasiyah yang di dalamnya Mu’tazilah turut berperan.

2. Tradisi Filsafat Yunani

Ali Musthafa al-Ghurabi seperti yang dikutip oleh Hendar Riyadi membagi kesadaran Mu’tazilah kepada 3 periode : Pertama, Generasi ke-1 yang diwakili oleh Wasil bin “Ata  dan Amr bin Ubaid. Wasil hidup pada masa pemerintahan Umayah, sedangkan Amr bin Ubaid mengetahui periode awal pemerintahan Abbasiyah. Genarsi ke-1 ini belim dan tidak banyak bersentuhan dengan tradisi Yunani, maka pandangan teologisnya masih bersumber pada teks keagamaan (al-Quran dan al-Sunnah). Hal ini disebabkan karena Mu’tazilah lahirnya di Madinah tempat para sahabat dan tabi’in berkumpul memegang teguh teks-teks teologis yang sumbernya dari al-Quran dan al-Sunnah.(Hendar Riyadi:221). Meskipun demikian generasi ke-1 ini telah menggunakan kecenderungan penggunaan akal/ rasio, karena pada saat itu Mu’tazilah telah bersentuhan dengan tradisi rasionalisasi dari  Irak (Persia).

Kedua, generasi kedua diwakili oleh Abu al-Huzail dan al-Zazham. Generasi kedua ini telah mengenal dari dekat dan mempelajari filsafat Yunani. Kecuali alat berpikir logika dari Grik dan Nyaya dari India, maka aliran filsafat yang hidup dalam lingkungan lawan itu haruslah didalami dan dikuasai sebaik-baiknya (Joesoef Sou’yb : 14). Dengan begitu terjadilah kegiatan besar dalam bidang penyalinan literatur Grik, India, Siryani, Kopti  dan Iran ke dalam bahasa Arab, terutama pada masa khalif al-Makmun dan khalifah berikutnya. Menurut al-Jabiri, penerjemahan karya-karyafilsafat Yunani sebagai kerja ilmiah yang dilakukan al-Makmun merupakan bagian dari strategi umum yang dilakukan dinasti Abbasiyah. Sebab pada saat itu ada nalar-nalar pesaing yang bersifat ideologis untuk menaburkan benih keraguan terhadap Islam dan untuk menurunkan dinasti Abbasiyah. Mereka memanfaatkan segala prinsip yang ada dalam peradaban-peradaban asing yang mereka kenal. Sejak dulu sudah nampak bahwa al-Allaf dan al-Nazham membuka pemikirannya untuk menerima sebagian pandangan filosofis Yunani (A Hanafi MA : 40). Penerjemahan buku-buku dan sumber tradisi Yunani tersebut telah memberi pengaruh terhadap bahasa, paradigma berpikir, dan keilmuan aliran Mu’tazilah. Jadi sumber nalar aliran Mu’tazilah selain al-Quran dan al-Sunnah juga pandangan  masyarakat asing yang masuk dalam pergaulan Islam dan buku-buku filsafat Yunani.

Ketiga, generasi yang diwakili oleh Abu ‘Ali al-Juba’i dan Abu Hasyim. Penerjemahan karya-karya Yunani terus berlanjut, hanya saja khalifah al-Makmun telah meninggal. Mu’tazilah mengalami kemunduran terutama ketika khalifah al-Mutawakil mendeklarasikan pencabutan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. (Bersambung)

    Putih itu indah.. Putih itu tinggi … Putih itu mulia… Putih itu bersih… Putih itu agung… Putih itu abadi…

    Kata orang, putih tidak selamanya putih… Hitam tidak selamanya hitam..

    Tetapi…
    Putih itu putih… Putih bukan hitam… Putih bukan juga kelabu… Putih tetap putih…Putih tidak pernah kompromi

TELEVISI DAN PENDIDIKAN
Oleh : Ani Nuraini

Seringkali kita menyaksikan berbagai acara yang ditampilkan di televisi, mulai dari berita yang berisi informasi peristiwa-peristiwa politik dalam dan luar negeri sampai informasi kriminal, musik, infotainment (gosip), dan lain sebagainya.

Semua tayangan tersebut dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat penonton yang pada saat itu menyaksikan acara tersebut dan pemirsa televisi yang ada di rumah. Hal itu sah-sah saja selama penonton dan pemirsa terhibur oleh acara tersebut.

Rating suatu acara tergantung kepada sejauhmana penonton dan pemirsa memberikan apresiasi terhadap acara tersebut. Semakin tinggi apresiasi penonton dan pemirsa terhadap suatu acara, semakin tinggi pula rating acara tersebut.

Ada satu hal yang kita lupakan dalam penyajian acara televisi, yaitu bagaimana seharusnya para programer atau inovator (atau apapun itu namanya yang bertugas untuk memilih suatu acara menjadi lebih berkualitas) pada acara televisi, menyajikan acara-acara tersebut sehingga mengandung muatan-muatan pendidikan.

Adakalanya suatu acara sangat menarik dari sisi hiburan, sehingga dengan melihat tayangan tersebut orang merasa terhibur, tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak. Sebagai contoh acara sinetron “ Suami-suami takut istri”. Dalam tayangan tersebut digambarkan bagaimana beberapa orang istri mengendalikan keluarga (dalam hal ini para suami) dengan “sangat ganas” dan tidak terpuji. Tetapi sangat ironis, dengan melihat tayangan sinetron ini orang-orang yang telah bekerja dengan keras seharian sampai penat dan cape, dapat terhibur dan tertawa dengan puas menyaksikan sinetron komedi ini. Tidak kurang ibu-ibu dan anak-anakpun menyukainya. Apakah ada yang salah dengan hal ini? Perlu dicatat bahwa televisi adalah media pendidikan. Ketika memperhatikan tayangan tersebut, paling tidak kita bisa menilai, manakah yang mengandung muatan pendidikannya? Apakah muatan pendidikannya dari sisi nilai benar atau salah?? atau masalah itu tidak perlu kita pedulikan saja? …

Contoh lainnnya tayangan “kecil-kecil ngobyek”. Di dalam tayangan itu digambarkan seorang anak usia sekolah dasar dapat mengerjai orang dewasa mulai dari kepala sekolah, ibu dan bapak gurunya, satpam, dan lain-lainnya. Muatan apakah yang disisipkan dibalik tayangan itu? Pelajaran apakah yang dapat kita ambil setelah kita menyaksikan tayangan itu? ..

Belum lagi dengan sinetron-sinetron remaja, dengan gaya hidup yang tinggi, dan hura-hura, memberikan contoh kepada penonton dan pemirsa se-indonesia, sehingga para remaja seindonesia “meniru habis” gaya idolanya yang ada di televisi. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, aksesoris, bahasa, bahkan sampai kelakuan para artis di televisipun ditirunya. Tidak masalah jika yang ditiru hal-hal yang baik. Bagaimana jika yang ditiru yang tidak baik? Misalnya, meniru gaya hidup bebas para artis. Dll. Bagaimana pula jika anak-anak yang menyaksikan tayangan tersebut berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah? Bukan tidak mungkin mereka akan meminta dibelikan barang-barang yang sama dengan barang yang dipakai oleh tokoh yang mereka kagumi di televisi. Bukan masalah ketika orang tuanya dapat membelikan apa yang mereka minta. Tetapi akan menjadi masalah jika orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Jika kebutuhan yang mereka minta tidak dibelikan, apa akan menimbulkan akibat lain? Nauzubillah…

Dibalik semua itu kita harus berpikir, adakah sesuatu yang berguna yang dapat diberikan kepada penonton dan pemirsa televisi agar dengan menyaksikan tayangan tersebut kemudian bisa merubah pola pikir mereka menjadi lebih baik? Adakah muatan-muatan yang mengandung nilai-nilai pendidikan disertakan pula dalam tayangan tersebut? Dapatkah setiap tayangan bisa mengarahkan penonton dan pemirsa generasi muda ke arah yang lebih baik, lebih bijak, lebih pintar, lebih sopan, lebih beradab? Itu tergantung kepada niat kita masing-masing. Yang penting para orang tua harus memperhatikan perkembangan sikap dan perilaku anak-anaknya, baik di rumah, di sekolah maupun dimana saja, agar anak-anak tunas bangsa milik Indonesia ini memiliki integritas kedepannya kelak. Amiin… Wallahu a’lam bi al Shawab

Tag:

Demi Waktu

Kalender

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Belajar Menghias Blog dengan Animasi

Blog Stats

  • 10.878 hits

Pendidikan