Ani Nuraini's Blog

 

FAKTA-FAKTA UNTUK KAUM  SYIAH

AGAR TIDAK MEMBENCI AISYAH DAN PARA SAHABAT

 

A.      Jika Ali membenci para sahabat Abu Bakar ash-shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, ia tidak akan menamai anak laki-lakinya sama dengan orang yang dibencinya. Tetapi Ali bin Abi Thalib RA tidak membenci para sahabat. Buktinya, Ali bin Abi Thalib RA memiliki 14 orang putera yaitu :

1.         Al-Hasan bin Ali

2.         Al-Husain bin Ali

3.         Muhammad Akbar bin Ali

4.         Muhammad al-Awsat bin Ali

5.         Muhammad al-Asghar bin Ali

6.         Abdullah bin Ali

7.         Ubaidullah bin Ali

8.         Ja’far bin Ali

9.         Yahya bin Ali

10.      Aun bin Ali

11.      Abbas bin Ali

12.      Abu Bakar bin Ali

13.      Umar bin Ali

14.      Usman bin Ali

Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali dan Utsman bin Ali semua syahid bersama al-Husain di Karbala. Ketiganya bersama-sama dengan al-Husain ketika dia syahid di Karbala.

B.      Al-Husain mempunyai putera bernama Abdullah, Abu Bakar dan Umar.

C.      Al-Hasan mempunyai putera bernama Abu Bakar dan Umar.

D.      Syiah percaya kepada para imam 12 mereka yaitu:

1.       Ali bin Abi Thalib

2.       Al-Hasan

3.       Al-Husain

4.       Ali bin Husain yang dikenal dengan Zainul Abidin, menamakan dua puteranya Umar dan Utsman

5.   Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Muhammad Baqir putera dari zainul Abidin, menamakan puteranya dengan Abu Bakar dan Umar.

6.   Ja’far Shadiq putera dari Muhammad Baqir, memiliki madzhab syiah ja’fariyah yang merupakan ajaran dan pemikiran Ja’far Shadiq. Pada masanya ada imam Abu Hanifah yang menghabiskan beberapa tahun di bawah Ja’far Shadiq. Ja’far Shadiq menamakan puteranya Abu Bakar dan Umar. Satu dari puterinya bernama Aisyah.

7.     Musa al-Kadhim putera dari Ja’far Shadiq, menamakan puteranya Abu Bakar dan Umar. Satu puterinya bernama Aisyah.

8.       Ali Reza putera Musa al-Kadhim, menamakan seorang puterinya dengan nama Aisyah.

9.       Muhammad Taqi putera dari Musa al-Kadhim

10.   Ali Naqi putera Musa al-Kadhim, menamakan puternya Aisyah.

11.   Hasan Askari

12.   Imam Mahdi

Semua keterangan di atas terdapat dalam kitab syiah.  Jika para sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Aisyah RA memiliki tempat yang tidak baik dihati para imam, jika mereka punya perbedaan, mereka membencinya, apakah mereka akan menamakan putera puteri mereka dengan nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aisyah? Tidak! Jika para imam menamakan putera-puteri mereka dengan nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aisyah ini meunujukkan bahwa mereka menghormati dan memandang tinggi semuanya.

E.       Abu Bakar memberikan puterinya (Aisyah) kepada Rasulullah SAW untuk dinikahi. Umar bin Khattab memberikan puterinya (Hafsah) untuk dinikahi Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW memberikan puterinya Fatimah untuk dinikahi Ali bin Abi Thalib. Dan Ali bin Abi Thalib menyempurnakan kitaran itu dengan memberikan puterinya yang bernama Umi Kultsum untuk dinikahi Umar. Umi kultsum adalah nama yang umum ditemui, tetapi Umi Kultsum yang dinikahi oleh Umar bin Khattab adalah puteri dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, Umi Kultsum cucunya Rasulullah.

F.       Allah mengetahui akan ada banyak orang yang akan mencaci maki Umar bin Khattab dengan mengatakan kejelekan-kejelekannya. Allah ingin menempatkan kebijakan jaminan pada tempatnya agar tidak ada seorangpun dengan akal sehat berani untuk membuka mulutnya berkaitan dengan Umar bin Khattab. Umar bin Khattab melamar Umi Kultsum kepada Ali bin Abi Thalib karena Rasulullah SAW bersabda: “Semua hubungan menjadi tidak berguna kecuali hubungan dengan saya”. Meskipun Umar bin Khattab sudah memiliki hubungan dengan menikahkan anaknya (Hafsah) dengan Rasulullah, tetapi Umar bin Khattad ingin mempererat hubungan itu. Pada saat itu Ali bin Abi Thalib, al-Hasan dan al-Husein yang telah dewasa, mereka ketiga dari para imam setuju dan sepakat untuk memberikan Umi Kultsum kepada Umar bin Khattab.

G.     Dengan menganalisa bacaan di atas apakah anda menganggap bahwa Umar seorang munafik? Na’udzubillah… Umar bin Khattab adalah muslim sejati.

H.      Ibunya imam Ja’far Shadiq adalah cicit dari Abu Bakar ash-Shidiq. Keturunan Abu Bakar RA mereka terus memberikan putri-putri mereka untuk ahlul bait, dan ahlul bait mengambil putri-putri dari keturunan Abu Bakar RA.

I.        Dan sebagaimana Rasulullah memberikan kedua putrinya kepada Utsman RA, ahlul bait terus memberikan putri-putri mereka untuk keturunan Utsman RA.

FAKTA-FAKTA UNTUK KAUM SYIAH AGAR TIDAK MEMBENCI AISYAH DAN PARA SAHABAT

Sekian tahun ke belakang pernah mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah. Ada perbedaan yang mencolok dulu dengan sekarang…pastilah. Ada tempat ibadah orang tionghoa atau konghucu baru yang diresmikan presiden RI pada tahun 2010. Namanya Kelenteng Kong Miao.

Dari luar kelenteng sudah tercium aroma dupa yang khas yang merupakan ciri khas dari kelenteng. Warna-warna tembok dan hiasan serta “asesoris” kelenteng mencolok dan terang terlihat sangat jelas. Hal ini membuat kelenteng banyak dikunjungi wisatawan untuk sekedar berfoto ria.

Inilah dia gambar pintu masuk kelenteng Kong Miao….

Anithea

Taman mini

Ramai-ramai kendaraan dan manusia hilir mudik kesana kemari. Ramai..ramai sekali di tempat ini… tetapi mengapa  hatiku terasa sepi…

Panas matahari membakar muka dan jemariku  yang tidak tertutup kain. Kulitpun terasa panas dan mandi peluh…Tetapi mengapa hati ini terasa dingin…

Bangun pagi bekerja, siang hari bekerja, sorepun masih saja bekerja. Ribuan format pekerjaan tersimpan di dalam memori otak ini…Tetapi mengapa pikiran ini masih saja kosong…

Jutaan manusia berloma-lomba menggapai kebahagiaan hidup.  Orang paling sederhana dan orang biasapun dengan berani maju terus  menggapainya…Tetapi mengapa hati ini merasa takut…

Ribuan jarak sudah kulewati panjangnya perjalanan hidup. Bergerak  ke Barat, Timur, Utara dan Selatan tidak ada yang terlewati… Tapi mengapa hati ini merasa diam…

Dinginnya malam terasa menusuk kulit dan tulang, yang terdengar hanya suara angin, dedaunan dan hujan. Tidurpun nyenyak dan terbuai dalam irama mimpi indah…Tetapi  mengapa hati ini merasa malam begitu cepat berlalu…

Saat kucari kedamaian, ia malah berlari jauh…

Saat kukejar kehangatan, aku malah terjerembab membeku

Saat kupinta sejuta harap, sejuta khayal yang kudapat

Saat kuberjuang demi cinta dan cita, duka dan lara yang menghampiri

Saat kumencoba untuk setia, kau malah riang mendua, men-tiga

Apa yang kuduga syair indah,  ternyata hanya cacian semata. Apa yang kukira tinta emas, ternyata hanya tinta berlumpur. Bersamamu kebaikan adalah keburukan…

Selamat tinggal sayang… Kau memang pantas kutinggalkan…

PERANAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENUMBUHKAN KECERDASAN EMOSIONAL

ADE AISYAH

(Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung,

ABSTRACT

Potential armed human nature, hearing, sight, and hearts. In his duties as caretaker of the human world must be educated to become good managers of the world. Education provided should include education to develop intellectual intelligence, emotional intelligence and spiritual intelligence. According to the study of emotional intelligence can achieve 80% compared with the intelligence act only as much as 20% only. Islamic education was instrumental to developing human emotional intelligence because it contains the positive values that can foster emotional intelligence in accordance with human nature

Manusia berbekal potensi fitrah, pendengaran, penglihatan, dan hati. Dalam tugasnya sebagai pengurus dunia manusia harus dididik agar dapat menjadi pengelola dunia yang baik. Pendidikan yang diberikan harus mencakup pendidikan untuk menumbuhkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Menurut penelitian kecerdasan emosi dapat mencapai keberhasilan 80%  disbanding dengan kecerdasan intelektual yang hanya berperan sebanyak 20% saja. Pendidikan Islam sangat berperan untuk mengembangkan kecerdasan emosi manusia karena berisi nilai-nilai positif yang dapat menumbuhkan kecerdasan emosi sesuai dengan fitrah manusia.

Kata Kunci

Peranan, ilmu Pendidikan, Islam, dan Kecerdasan Emosional

Pendahuluan

Manusia adalah makhluk yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Dari yang memiliki potensi tersebut manusia menjadi khalifah di muka bumi pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah berupa bentuk dan wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dpaat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan, dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.[1]

Manusia sebagai khalifah yang mengembangkan kebudayaan sebagi makhluk pedagogis, maka manusia dengan potensi fitrahnya perlu mendapatkan pendidikan.

Pendidikan ialah proses untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya, juga akan menentukan kea rah mana peserta didik itu akan dibawa, selain itu tujuan merupakan pedoman untuk tolak ukur bagi seluruh kegiatan pendidikan, penetapan materi, metode dan evaluasi yang akan dilakukan. Zahara Idrus berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah memberikan bantuan aterhadap perkembangan anak seutuhnya. Dalam arti, supaya dapat mengembangkan potensi fisik, emosi, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan semaksimal mungkin agar menjadi manusia dewasa.[2]

Pengembangan dari salah satu tujuan pendidikan adalah pendidikan emosi. Arti daripada emosi adalah keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian, yanag bersifat subyektif), adapun arti emosional artinya menyentuh perasaan mengharukan.[3]

Dalam kondisi dipengaruhi emosi yang dominant, tindakan manusia tidak lagi rasional. Manusia tidak lagi menjadi makhluk yang berfikir, melainkan hanya mengandalkan perasaa semata.

Emosi yang tidak terkontrol bias juga menimbulkan prasangka, bias melahirkan fitnah yang merugikan diri sendiri serta orang lain, kerugian yang paling berbahaya dari fitnah, kata Sayid Mutjaba Musawi Lari adalah pengrusakan kepribadian spiritual dari hati nurani yang memfitnah, mereka melanggar jalan alami pikiran, mereka akana kehilangan keseinbangan berpikir dan system perilaku mereka yang mulia. Terlebih lagi, membahayakan perasaan orang dengan membuka rahasia dan kesalahan orang lain. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (QS Al Hujurat : 12).

Cinata terhadap diri sendiri adalah naluri dasar manusia, akan tetapi hal itu bias menyebabkan ancaman nyata bagi manusia. Dengan mencintai diri sendiri secara berlebihan pangkalnya akan membuat manusia tidak menyediakan ruang di hatinya untuk mencintai orang lain. Rasa percaya diri yang berlebihan akan amelahirkan arogansi dan rasa congkak. Sifat congkak adalah salah satu bentuk ketidakmampuan manusia mengontrol emosinya. Firman Allah SWT mengingatkan hal itu : “Sekiranya kamu bersikap dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS. Ali Imran : 159).

Pengertian dari keberhasilan pendidikan emosional menurut Ari Ginanjar Agustian mengemukakan dengan istilah kecerdasan emosi yang lebih berperan daripada kecerdasan otak.[4]

Contohnya banyak pegawai yang kecerdasan IQnya tinggi tetapi tidak sukses dalam pekerjaannya karena kecerdasan emosionalnya rendah. Dengan keberhasilan pendidikan emosional akan melahirkan kecerdasan emosi yang akan menjadikan seseorang berhasil dalam karirnya, hidup harmonis dengan orang lain dalam lingkungan masyarakat.

Bagaimana pendidikan Islam menjadikan seseorang dengan kecerdasan emosional yang baik, dalam hal ini maka ilmu pendidikan Islam berperan dalam menumbuhkan kecerdasan emosional seseorang.

Hasil Kajian

Pengertian Pendidikan emosional

Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam.[5] Memahami pendidikan Islam di dalam pelaksanaannya pendidikan Islam mempunyai landasan yaitu Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah mursalah, istihsan, qiyas dan sebagainya.

Tentanga pendidikan Islam ini Zakiah Daradjat (1992:25-31) berpendapat sebagai berikut : pengertian apendidikan menurut bahasa (dalam bahasa Arabnya adalah “tarbiyah”, sedangkan pendidikan Islam artinya adalah “tarbiyah islamiyah”.

Oleh karena itu pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Ajaran Islam berisi tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup peroragan dan bersama. Maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.  Semua orang yang bertugas mendidik adalah para nabi dan rasul, selanjutnya para ulama and cerdik pandai sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka.

Kalau kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam, akan terlihat dengan jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang  yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah SWT dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan akhirat nanti.

Ini kelihatan terlalu ideal, sehingga sukar dicapai tetapi dengan kerja keras yang dilakukan berencana dengan kerangka-kerangka kerja yang konsepsional mendasar, tercapainya tujuan itu bukanlah sesuautu yang mustahil.

Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah SWt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. 3:102)

Tanggung jawab pendidikan dalam islam emngacu kepada ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1978 yaitu : pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat karena itiu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.[6]

Selanjutnya Zakiah Daradjat (1992: 35) berpendapat bahwa : Pemberian bimbingan ini dilakukan oleh orang tua di dalam lingkungan rumah tangga, para guru di lingkungan sekolah dan masyarakat.

Kecerdasan Emosional

Emosi dapat berpengaruh terhadap perilaku individu, contohnya antara lain : pertama, memperkuat semangat apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang di capai. Kedua melemahkan semangat apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan, puncaknya adalah timbul rasa putus asa dan frustasi. Ketiga menghambat atau mengganggu konsentrasi apabila sedang mengalami ketegangan emosi. Keempat, tergamggu penyesuaian social apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati. Kelima suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecil akan mepengaruhi sikapnya dikemudian hari baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.[7]

Ada lima prinsip dasar dalam mendidik anak dalam kaitannya dengan kecerdasan emosi (EQ) menurut Maurice J Elias dkk (2000:11), yaitu :

  1. Sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Kesadaran akan perasaan orang lain sangatlah penting, untuk memmbina hubungan yang lebih baik.
  2. Tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain. Empati adalah kemampuan untuk menyelami perasaan orang lain. Utuk dapat melakukan hal ini seseorang harus menyadari baik perasaan dirinya maupun perasaan orang lain. Memahami perasaan orang lain adalah bagian penting pengembangan kepekaan terhadap sesame. Inilah yang disebut tenggang rasa terhadap sesame.
  3. Atur dan atasi dengan positif gejolak emosional dan perilaku. Ini adalah aspek pengendalian diri, yakni kemampuan membatasi reaksi emosional terhadap suatu situasi, baik positif maupun negative.
  4. Berorientasi pada tujuan dan rencana positif. Salah satu hal penting tentang manusia adalah bahwa kita dapat menetapkan tujuan dan membuat rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Ini berarti bahwa umummnya hal-hal yag dilakukan orang tua dan anak-anak berorientasi pada tujuan.
  5. Gunakan social positif dalam membina hubungan. Disamping memiliki kesadaran akan perasaan, kendalikan diri, orientasi, tujuan, dan epati kemampuan berhubungan secara efektif dengan orang lain sangat penting. Untuk itu diperlukan kecakapan social komunikasi dan pemecahan masalah.[8]

Istilah kecerdasan emosi baru dikenal secara meluas pertengahan tahun 90-a dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman : Emotional Intelligence. Sebenarnya Goleman telah melakukan riset kecerdasan emosi (EQ) ini lebih dari 10 tahun, ia menunggu waktu yang sekian lama untuk mengumpulkan bukti ilmiah yang kuat, mendapat sambutan baik dari akademisi mapun praktisi.[9]

Selanjutnya Daniel Goleman berpendapat: kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ, meskipun IQ lebih tinggi, tetapi orang dengan kecerdasan emosi rendah tidak banyak berubah, banyak orang cerdas dalam arti terpelajar tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi berbeda dengan orang yang IQnya lebih rendah tetapi tanggal dalam keterampilan kecerdasan emosi.[10]

Dengan beberapa pendapat tersebut maka kecerdasan emosi lebih berperan dalam kehidupan seseorang dibandingkan dengan kecerdasan IQ. Dari lembaga hasil pendidikan, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan disbanding kecerdasa IQ. Keberhasilan kecerdasan emosilah yang sesungguhnya (hamper terbukti seluruhnya) menggambarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti terpuruk di tengah persaingan, sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual justru sukses sebagai bintang-bintang kerja, pengusaha-pengusaha sukses dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Disinilah kecerdasan emosi (EQ) membuktikan efisiensinya.[11]

Goleman amenjelaskan kecerdasan emosi (emotional Intelligence) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan peraaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Selanjutnya Goleman menjelaskan bahwa secara sederhana IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20%, sedangkan kecerdasan emosi (EQ) memmberi konsistensi 50 %.

Perkembangan EQ Gaya Agus-Steiner

Perkembangan EQ gaya Agus-Steiner ini memiliki langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Membuka hati : hati adalah merupakan symbol, pusat emosi, hati kita yang lebih tahu kadang orang lain tidak tahu. Dengan menerima pendapat orang (kalau memang baik) menolak pendapat orang (bila argumennya kurang meyakinkan), dan lain-lain.
  2. Menjelajahi dataran emosi. Kita menelaah secara mendalam perasaan emosi kita, dalam penguasaan luapan emosi, menghargai perasaan orang dan lain-lain.
  3. Mengambil tanggung jawab. Artinya kita harus berani karena benar, takut karena salah, berani menerima dan mengambil resiko apa yang telah kita perbuat dan langkah kita.

Pembahasan

Prinsip potensi fitrah berpikir, merasa dan bertindak atau dalam istilah ilmu pendidikannya tiga kemampuan dasar manusia : kognitif, afektif dan psikomotorik itulah yang diisyaratkan oleh Imam Ghazali berbicaralah dengan manusia sesuai engan akalnya, yaitu :” seorang guru hendaklah membatasi dirinya dalam berbicara dengan anak-anak didiknya sesuai dengan daya pengertiannya jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya akan memberontak terhadapnya.[12] Tidak hanya akal kognitif saja yang memiliki fase perkembangan emosipun demikian (afektif). Maka pendidikan yang diberikanpun disesuaian dengan fase potensi tadi.

Dengan kata lain kemampuan atau kecerdasan emosi itu bertahap dan berbeda-beda, atau pada masa sekarang istilahnya kecerdasan intelegensi (IQ). Kecerdasan ini seringkalimenjadi tolak ukur kemampuan seseorang dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Adapun istilah EQ yang dikenalkan oleh Daniel Goleman pada awal tahun 90-an, slogan yang membangkitkan gairah dan memberi sugesti, berkaitan dengan potensi EQ adalah EQ menentukan 80% kesuksesan sementara IQ hanya 2o%. Kehebatan ini selanjutnya ditunjang oleh temuan-temuan baru dibidang riset otak (brain research).[13]

Untuk mengasah dua hal tersebut, maka dunia pendidikan  disusun sebuah kurikulum yang harus menjadi acuan kalangan pendidik. Yang kemudian dijabarkan dalam bentuk mata pelajaran.

Untuk m engasah akal pikiran (kognitif) misalnya matematika, fisika, kimia dan pengetahuan social. Sementara untuk mengasah afektif para sarjana pendidikan telah sejak lama menyarankan supaya pembawaan kemampuan afektif seseorng  diperhatikan ke dalam bidang yang sesuai dan disukai dengan bakat dan kemampuan individu. Sebagaimana anjuran Ibnu Sina, yang menekankan supaya instink anak diperhatikan  sebagai landasan pendidikannya. Beliau berkata: “ Tidak semua pekerjaan yang dicita-citakan si anak terbuka dan sesuai baginya, tetapi hanyalah pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat-sifat dan pembawaannya.[14]

Dari uraian tersebut maka dapat dilihat betapa pentingnya pendidikan kecerdasan emosional, hal ini sesuai dengan pernyataan Ari Ginanjar sebagaimana apa yang diutarakannya sebagai berikut : Lima tahun mengabdi sebagai pegawai negeri di  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sayasaya selalu mengamati bahwa emosi tidak ada satupun mata kuliah yang mengajarkannya pentingnya kecerdasan emosi yang mampu mengalirkan sikap-sikap integritas, komitmen, visi serta kemandirian yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh pemberi kerja atau mahasiswa saat itu. Ini mengisyaratkan, betapa masih rendah kesadaran dan apresiasi tentang  hal tersebut diajarkan di dunia pendidikan.[15]

Demikianlah Ari Ginanjar mengemukakan bahwa pendidikan emosi perlu diajarkan di dunia pendidikan. Sedangkan bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan emosi dapat diterima dalam keluarga sesuai dengan pendapatnya : “ fungsi pendidikan akeluarga diantaranya adalah menjamin kehidupan emosional anak melalui pendidikan keluarga, kehidupan emosional seperti rasa kasih saying dapat berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik, dan orang tua dalam mendidiknya hanya didasarkan adanya tanggung jawab dan kasih saying yang murni. Kehidupan emosi ini, merupakan salah satu factor penting dalam perkembangan anak, dalam membentuk pribadi seseorang.[16]

Peranan Ilmu Pendidikan Islam Dalam Menumbuhkan Kecerdasan Emosional

Dari uraian tentang Ilmu Pendidikan Islam dan kecerdasan emosional dapat ditarik gambaran bahwa pelaksanaan pendidikan Islam dengan landasan Al-Quran dapat menumbuhkan kecerdasan emosional, karena dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang  mengarahkan, membimbing manusia supaya menjadi seorang yang mempunyai kecerdasan emosi. Adapun ayat-ayat AL-Quran yang menunjukkan manusia sebagai mahkluk emosional diantaranya adalah :

  1. Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. AL Baqarah : 11)
  2. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman :18).
  3. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Annisa : 32).
  4. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS. AL-Baqarah : 10).
  5. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. Al Baqarah : 9).
  6. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.(QS. Fushshilat : 34).
  7. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran : 159).
  8. Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Rabbmu? Dan Musa melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka mau membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim (QS. Al-A’raf:150).

Itulah diantaranya ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Dengan berpedoman kepada ayat-ayat tersebut maka diharapkan seseorang  akan mempunyai kecerdasan emosi yang tingi, yaitu seseorang yang memiliki sifat-sifat yang seharusya ada dalam dirinya dan yang seharusnya tidak ada dalam dirinya. Sifat-sifat tersebut terbagi kepada sifat positif dan sifat negative. Sifat positif diantaranya adalah :

  1. Tidak membuat kerusakan
  2. Rendah hati
  3. Tidak Iri hati
  4. Tidak berdusta
  5. Tidak menipu
  6. Lemah lembut
  7. Adil
  8. Setia
  9. Sabar
  10. Tanggung jawab
  11. dan lain-lain

Sifat-sifat yang negative diantaranya :

  1. Pembohong
  2. Hasud
  3. Tamak
  4. Riya
  5. Angkuh
  6. Keras hati
  7. dan lain-lain

Sifat-sifat positiflah yang menunjukkan kecerdasan emosional, menjadikan seseorang bias hidup  sukses baik dalam kehidupan di masyarakat maupun di tempat lainnya, karena kecerdasan emosional yang tertanam di dalam hatinya sebagaimana pendapat Ari Ginajar : “ Semua itu ketika seseorang sudah bias menjadikan hati nuraninya dengan baik, hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat. Artinya, setiap manusia sebenarnya telah memiliki radar hati sebagai pembimbing.[17]

Dengan ajaran dari Al-Quran itulah radar hati menjadi  pembimbing seseorang, dengan demikian maka ilmupendidikan Islam berperan dalam menumbuhkan kecerdasan emosional.

Simpulan

Selain dibekali potensi fitrah dan panca indera untuk bekal hidunya, manusia  sebagai makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik, yang pada akhirnya manusia bertugas menjadi pengelola di muka bumi dengan bekal berbagai kemampuannya.

Dengan berbekal potensi-potensi kecerdasan yang dimilikinya manusia akan berusaha untuk mewujudkan dirinya menjadi apa yang ingin dicita-citakannya. Manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, pekerjaannya, dan mengejar kepuasan-kepuasan materi yang belum didapatkannya.

Kecerdasan emosional akan menjadi penyaring dan pengendali dari semua keinginan yang bersifat materi yag dikejar manusia, karena kecerdasan emosi melibatkan perasaan-perasaan yang positif dari perkembangan kepribadian manusia.

Ilmu Pendidikan Islam banyak berperan dalam pembinaan kecerdasan emosional manusia, karena secara fitrah manusia diciptakan Allah dengan potensi-potensi dari Allah. Ajaran- ajaran agama yang tertuang dalam Al-Quran dapat menjadi teladan dan motivasi untuk menumbuhkan emosi positif dan pengendali  untuk menjauhi emosi negatif.

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994)

Ichwanie, Arief, AS, Ilmu Pendidikan Teoritis, Fakultas Tarbiyah : UIN SGD Bandung.

Idrus H, Zahara,  dan Lisna Jamal, Pengantar Pendidikan Jilid I, Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana, 1992

J Elias, Maurice, dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, Bandung: Mizan, 2000.

M. Athiyah, Al Abrasy,  : Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Noer Aly, Hery  , MA, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Logos: 1999)

Rosyidah, Ida,  Mkalah tentang IQ, EQ dan SQ, UIN Bandung, 2002.

Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.


[1]Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 16.

[2]Zahara Idrus H dan Lisna Jamal, Pengantar Pendidikan Jilid I, ( Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana, 1992), h. 29

[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 261.

[4] Ari Ginajar Agustian, h. 36

[5] Drs. Hery Noer Aly,  , MA, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos: 1999), h. 27

[6]Zakiah, Ilmu, h. 34.

[7] Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 114-115.

[8]Maurice J Elias, dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, (Bandung: Mizan,2000), 11.

[9] Ida Rosyidah, Mkalah tentang IQ, EQ dan SQ, (UIN Bandung, 2002), h. 6.

[10]Ibid., h. 7

[11] Ari Ginanjar, h. 7.

[12] M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 12.

[13]Maurice J Elias, dkk, h. 11

[14]M. Athiyah Al-Abrsy, h. 17

[15] Ari Ginanjar, h. 36.

[16] Arief Ichwanie, AS, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Fakultas Tarbiyah : UIN SGD Bandung) h. 56.

[17] Ari Ginanjar, h. 40.

Pendahuluan

Pemuda adalah masa depan bangsa, dan masa depan pemuda tergantung pada pendidikannya. Maka pendidikan menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas pemuda.

Pendidikan Islam pada awal perkembangannya di Indonesia hanya terbatas pada mesjid, surau dan tempat-tempat ibadah. Semakin lama semakin berkembang dengan munculnya  madrasah, sekolah formal, dan sekolah-sekolah tinggi.

Dengan berkembangnya sekolah-sekolah tersebut tidak berarti bahwa pendidikan Islam telah maju. Ada berbagai indikator yang harus dijadikan ukuran pendidikan Islam Islam telah maju. Misalnya dari sisi komponen-komponen pendidikan itu sendiri, seperti guru, murid, tujuan, kurikulum, metode, evaluasi dan lain-lain.

Berkembangnya tempat-tempat pendidikan Islam, hanya merupakan salah satu indikator kemajuan pendidikan Islam. Artinya, banyak anak-anak bangsa ini yang mengenyam pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah tersebut. Kemajuan ini hanya dari sisi kauntitas belaka. Tetapi dari sisi kualitas perlu analisa yang lebih mendalam untuk mengetahuinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep tarbiyah Islamiyah merupakan konsep yang paling ideal. Sejarah telah membuktikan keberhasilan tarbiyah Islamiyah yang telah diterapkan sejak zaman Rasulullah sampai dengan periode abbasiyah. Cahaya gemilang dari produk-produk generasi masa lalu itu selalu didengung-dengungkan hingga sekarang. Lalu bagaimana kondisi pada zaman sekarang? Adakah percik-percik cahaya keberhasilan masa lalu tergambar pada generasi muda pada zaman sekarang? Jawabannya adalah pendidikan Islam perlu berbenah diri dengan melakukan revitalisasi, reaktualisasi dan reformasi konsep.

Pengertian Pendidikan Islam

Pengertian Pendidikan

Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu akan dibahas pengertian tentang pendidikan. Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa, membimbing yang belum dewasa kepada kedewasaan (Kartini Kartono, 1997 :11). Ahmad D Marimba merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama ( Ahmad D Marimba, 78:20)

Dalam UUSPN No 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pengertian Pendidikan Islam

Menurut tinjauan etimologi pendidikan Islam berasal dari kata : (1) raba-yarbu yang berarti tumbuh, (2) Rabiya- yarba artinya menjadi besar, (3) Rabba-yarubbu artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memelihara (An Nahlawi, 1992:31).

Menurut tinjauan terminology pendidikan Islam adalah : (1) Mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan maupun tulisan (Ramayulis, 2006:16) (2) Suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan mereka dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed Sayyad Husain, dkk, 1986:2). (3) Pendidikan Islam adalah suatu proses system pendidikan yang mencakup seluruh kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah dengan berpedoman pada ajaran Islam (Syamsul Nizar, 2001:93).

Dari pengertian-pengertian di atas pendidikan Islam merupakan proses mempersiapkan anak didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya agar bersikap sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Mempersiapkan anak didik itu tidak hanya terbatas pada transfer of knowledge sajaa, melainkan juga transform nilai-nilai ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan tauhid dan dijiwai nilai-nilai Islam.

Esensi Pendidikan Islam

Setiap substansi mengandung pengertian esensi, tetapi tidak setiap esensi mengandung pengertian substansi. Substansi dapat ditafsirkan sebagai yang membentuk sesuatu atau yang pada dasarnya merupakan sesuatu. Esensi adalah hakekat barang sesuatu.  Esensi dari pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid (keimanan) dan pendidikan akhlak atau moral. Untuk mewujudkan hamba Allah dan khalifah fil al ardh, manusia harus beriman dan berakhlak baik. Manusia yang beriman dan berakhlak mulia dengan berbagai potensinya  ia akan dapat menggunakan ilmunya untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian pendidikan Islam merupakan sutu proses bertahap dalam membentuk peserta didik berdasarkan potensi yang dimilikinya agar sesuai dengan maksud penciptaaanya dan keberadaannya. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Sementara keberadaan manusia di muka bumi adalah untuk mengurus urusan dunia (khalifah fil al ardh). (BERSAMBUNG)

(Silahkan mengutip, tetapi dengan menyebutkan sumbernya)

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MOHAMMAD NATSIR

ANI NURAINI

(Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam Garut)

ABSTRACT

In every age and every generation there are always bright people who become leaders and role models of their nation. During the Dutch colonial period, Indonesia was a country lagging behind in all areas of life like social, economic, political etc. Education is a tool to educate the people who are not getting the attention of the Government of Indonesia and the Dutch colonial government. Knowledge gap occurred, West-East, rich-poor, people-officials during the Dutch period in Indonesia, until the time comes when Mohammad Natsir’s great contribution started narrowing these gaps.

Kata Kunci

Pemikiran, Pendidikan,  Islam, Mohammad Natsir

Pendahuluan

Long life education, belajar seumur hidup merupakan kewajiban bagi setiap manusia.  Sejak zaman dahulu, zaman sekarang sampai zaman yang akan datang manusia tetap harus belajar untuk mengembangkan potensinya. Belajar dari masa lalu, belajar pada masa sekarang dan belajar untuk menghadapi masa yang akan datang. Belajar pada pengalaman orang-orang terdahulu yang layak kita jadikan contoh merupakan kewajiban untuk umat zaman sekarang. Kewajiban umat zaman sekarang untuk meneruskan dan mengembangkan apa yang belum dan tidak sempat mereka kerjakan.

Telah ada pada setiap zaman  dan pada setiap tempat tokoh-tokoh pembaharu cemerlang yang menjadi inspirasi masyarakat lainnya untuk mencapai kemajuan. Dimulai dengan kepemimpinan Rasulullah dari tanah Mekah, peradaban orang Arab mulai mencapai kemajuan sedikit demi sedikit. Kemudian kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh sahabat al-khulafa al- Rasyidun, dinasti umayyah, dinasti Abbasiyah dan dinasti-dinasti lainnya.

Pada setiap dinasti muncul ilmuwan-ilmuwan yang melanjutkan perjuangan Rasululah dalam berbagai bidang. Diantaranya yang terkenal adalah al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Ibnu Thufail, al-Ghazali dan lain-lain. Nama-nama besar itu dikenal sebagai tokoh-tokoh yang memajukan peradaban, terutama peradaban Islam zaman keemasan (golden age).

Salah seorang tokoh di Indonesia adalah M Natsir. M. Natsir terkenal sebagai seorang politikus, pendidik, negarawan, ulama dan lain-lain. M Natsir adalah tokoh cemerlang yang lahir pada zaman dan tempat yang tepat. M Natsir Lahir pada zaman yang tepat karena zaman pada saat itu adalah zaman penjajahan (kolonialisme). Hampir setiap Negara Eropa pada saat itu menjajah wilayah Negara lain. Seperti Inggris menjajah Malaysia, Belanda menjajah Indonesia, Amerika menjajah Philipina, dan lain-lain. M Natsir  lahir di tempat yang tepat, karena pada saat itu Indonesia sangat membutuhkan figur M Natsir yang lengkap dengan berbagai kemampuan dan integritasnya.

M Natsir mengetahui betul kapan saatnya ia memberi komando untuk memimpin bangsanya, dan ia tahu kapan saatnya ia bergembira untuk menghibur, ia tahu kapan saatnya memberi semangat kepada pamuda, ia tahu kapan saatnya ia membunyikan genderang perang jika ada musuh yang hendak menghancurkan cita-cita Islam, baik terhadap penjajah maupun terhadap bangsanya sendiri.[1]

Salah satu kontribusi M Natsir dalam pendidikan adalah merintis Sekolah Pendidikan Islam (Pendis). Latar belakang didirikannya Pendis adalah M Natsir melihat adanya kesenjangan dalam bidang pendidikan antara masyarakat Indonesia sebagai pribumi dengan pihak Belanda sebagai penjajah.

Hasil Kajian

Pendidikan berasal dari bahasa Arab yaitu al-Tarbiyah. Menurut kamus bahasa Arab lafalz al Tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama, berasal dari kata raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh; kedua berasal dari kata rabiya yarba yang berarti menjadi besar; ketiga berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.[2]

Dari ketiga kata tersebut para ahli pendidikan Islam memberikan berbagai interpretasi. Menurut Al-Ghazali pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.[3] Arifin mengatakan pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Zakiah Daradjat menyebutkan pendidikan Islam itu lebih banya ditujukan  kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, selain bersifat teoritis pendidikan Islam juga bersifat praktis yang meliputi pendidikan iman dan pendidikan amal.[4]

Dalam aplikasinya sistem pendidikan ini sangat tergantung kepada komponen-komponen pendukungnya yang terdiri dari (1) tujuan pendidikan; (2) kurikulum; (3) pendidik; (4) terdidik dan (5) evaluasi.

Komponen pertama yaitu tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dalam Islam berpuncak pada tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk mewujudkan ‘abdullah. Tujuan pendidikan Islam dalam prosesnya terbagi kepada tujuan tertinggi, tujuan umum dan tujuan khusus.  Setiap suatu pekerjaan, tindakan, usaha biasanya diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.  Dalam mencapai tujuan tertentu biasanya selalu berpijak pada dasar atau pijakan yang kuat. Dasar atau pijakan adalah landasan untuk berdirinya sesuatu.[5] Dasar atau pijakan ini tergantung kepada falsafah hidup yang dianut oleh suatu negara dan masyarakat tertentu.  Setiap Negara mempunyai filsafat Negara yang akan mengarahkan tujuan-tujuan setiap tindakan atau perbuatan. Filsafat Negara itu merupakan arah dan pedoman  suatu negara dalam merumuskan tujuan negaranya. Filsafat suatu negara akan berpengaruh terhadap tujuan pendidikan negara itu. Penganut agama menginginkan tujuan pendidikan negara dirumuskan berdasarkan agamanya, orang filsafat menginginkan tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan filsafat yang dianutnya, begitupun dengan penganut ajaran nenek moyang.[6] Barangkali tidak semua orang dalam suatu negara meyakini filsafat negaranya. Persetujuan orang terhadap filsafat Negara lebih sebagai persetujuan politik daripada sebagai persetujuan karena keyakinan.[7] Dengan demikian bagi ummat Islam yang harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan Islam adalah al-Quran dan al-Sunnah.

Komponen kedua, yaitu kurikulum pendidikan Islam. Dalam arti luas kurikulum adalah sejumlah kekuatan, faktor-faktor pada alam sekitar pengajaran dan pendidikan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luarnya dan sejumlah pengalaman-pengalaman yang lahir dari interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor ini.[8] Dalam arti sempit kurikulum dapat diartikan menurut fungsinya, yaitu (1) kurikulum sebagai program studi; (2) kurikulum sebagai konten; (3) kurikulum sebagai kegiatan berencana; (4) kurikulum sebagai hasil belajar; (5) kurikulum sebagai reproduksi kultural; (6) kurikulum sebagai pengalaman belajar; (7) kurikulum sebagai produksi.[9] Pembatasan pengertian secara luas dan sempit ini tidak mengurangi hakikat pendidikan yang bertujuan mulia untuk mewujudkan ‘abdullah dan khalifah fi al-ardh.

Komponen ketiga, pendidik. Dalam pendidikan Islam pendidik adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain.[10] Yang dimaksud dengan orang dewasa adalah orang tua, guru dan masyarakat. Seorang pendidik dalam Islam harus memiliki sifat-sifat mulia yaitu (1)  tujuan, tingkah laku dan pola pikir guru harus bersifat Rabbani; (2) ikhlas; (3) Sabar; (4) Jujur; (5) Membekali diri dengan ilmu dan membiasakan mengkajinya; (6) Mampu menggunakan berbagai metoda mengajar; (7) Tegas dan mampu mengelola siswa secara professional; (8) Mengetahui perkembangan siswa (9) Tanggap terhadap perkembangan zaman; (10) Adil.[11]

Komponen keempat, peserta didik atau murid. Peserta didik adalah orang yang sedang dalam fase pertumbuhan  secara fisik dan fase perkembangan secara psikis yang membutuhkan bimbingan dari pendidik baik jasmani maupun rohaninya. Fase-fase itu harus dipenuhi oleh pendidik dengan memperhatikan faktor-faktor kematangan, perbedaan individu, motivasi, minat, bakat dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Komponen kelima, evaluasi pendidikan Islam. Proses pendidikan yang dilakukan dengan terencana mulai dari perumusan tujuan pembelajaran dan perumusan kurikulum, pada akhirnya harus dilakukan penilaian untuk mengukur sejauhmana tujuan pembelajaran dapat dicapai dan sejauhmana kurikulum dapat diserap oleh peserta didik. Biasanya evaluasi dilakukan dengan sistematis, periodik dan berpedoman kepada tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam merumuskan evaluasi harus berdasarkan kepada prinsip-prinsip tertentu, yaitu validitas, berorientasi kepada tujuan/kompetensi,  berkelanjutan, menyeluruh, bermakna, adil dan objektif, terbuka, ikhlas, praktis, dicatat dan akurat.[12]

Pembahasan

Mohammad Natsir sebagai Peserta Didik

M Natsir memiliki nama Panjang Mohammad Natsir. Ia dilahirkan di sebuah  Kampung bernama Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908.[13]

Ia hidup di tengah keluarga yang taat beragama. Ayah dan Ibunya berasal dari Maninjau Kabupaten Agam. Ayahnya seorang pegawai pemerintah bernama Sutan Saripado dan ibunya bernama Chodijah.

Pada tahun 1916 M Natsir menempuh sekolah dasarnya di HIS (Holandsch Inlandshe School). Ia berhasil menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1923. Selain belajar di HIS, M Natsir juga menuntut ilmu agam di Madrasah Diniyah. Keduanya di selesaikan di Solok, Padang.

Melanjutkan sekolah dasarnya, pada tahun 1923 – 1927 M Natsir melanjutkan sekolah menengahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Selama sekolah di MULO  ini, M Natsir telah terlibat sebagai aktivis pergerakan nasional yang berorientasi Islam.[14] Ia memilih bergerak dalam bidang keislaman karena dasar pendidikan yang diperoleh di keluarga dan masyarakatnya yang lebih mengutamakan Islam. Dengan kata lain Islam adalah pandangan hidup orang Padang. Selain itu M Natsir   sangat terpengaruh dan sangat kagum kepada tokoh dan aktivis JIB (Jong Islamieten Bond) yang dipimpin oleh Haji Agus Salim.

Pada Tahun 1927 M Natsir melanjutkan studinya di Bandung yaitu di AMS (Algemene Middelbar School) A-II jurusan Sastra Barat Klasik (Westers Afdeling Klassieke).setingkat sekolah menengah atas. Di AMS ini pergaulannya semakin berkembang, ia bertemu dengan teman-teman dalam pergerakannya seperti Sutan Syahrir dan Syafrudin Prawiranegara. Selain sekolah formal di AMS, M Natsir belajar memperdalam ilmu pengetahuan agama kepada A Hasan, seorang tokoh pembaharu dari Persis Bandung.[15] Di Bandung inilah kemudian dikenal nama Soekarno yang memiliki pengaruh besar terhadap pergerakan para siswa di sekolah menengah dan mahasiswa. Selain itu Hanya di AMS Bandung inilah yang memiliki jurusan Sastra Barat Klasik. Dua hal inilah yang membuat M Natsir tertarik melanjutkan sekolah di AMS Bandung.

Karena M Natsir merupakan pemuda yang giat dan gigih dalam belajar serta aktif   dalam pergerakan nasional, Van Bassem (kepala sekolahnya pada saat itu) sangat menaruh simpati terhadap M Natsir dan teman-temannya seperti Syafrudin Prawiranegara, M Roem, Sutan Syahrir dan Jusuf Wibisono. Van Bassem adalah guru yang  selalu membimbing M Nastsir dalam pelajaran bahasa dan budaya Latin.[16] Oleh sebab itulah pada tahun 1930 setelah tamat dari AMS M Natsir sudah menguasai  bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Latin.

Setelah mengikuti kegiatan formalnya di sekolah M Natsir melibatkan dirinya dalam organisasi sosial dan kepemudaan. Dalam bidang sosial pendidikan M Natsir kemudian bergabung dengan organisasi Persis yang dibimbing oleh A Hasan, seorang tokoh pembaharu Islam. Setelah bergabung ini kemampuannya dalam bidang keislaman semakin berkembang, sehingga pada akhirnya A Hasan mempercayainya untuk menjadi pimpinan Persis.

Sebagai kelanjutan aktivitas pergerakannya pada saat di MULO M Natsir melanjutkan aktivitasnya di organisasi pergerakan pemuda di JIB (Jong Islamieten Bond).  Selain karena tertarik pada orientasi keislaman dalam organisasi tersebut, M Natsir sangat mengagumi tokoh yang memimpin organisasi JIB, yaitu H. Agus Salim. Jika dulu ia hanya sebagai anggota pergerakan saja, maka pada saat di Bandung M Natsir semakin mendalami pergerakan JIB hingga akhirnya M Natsir terpilih menjadi pengurus, yaitu sebagai wakil ketua JIB periode 1929-1932.[17]

Dimulai dari pergerakan JIB inilah kemudian M Natsir bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam lainnya yang berpengaruh pada saat itu, seperti HOS Tjokroaminoto dan AM Sangadji. Mereka itulah yang pada akhirnya membentuk karakter dan kepribadian M Natsir, sehingga ia memiliki integritas kejujuran, intelektualisme Islam, percaya diri, kecakapan mengurus Negara, kesetiaan pada prinsip perjuangan,kesederhanaan hidup, dan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap nasib bangsa dan Negara.[18] Integritas-integritas inilah yang kemudian menjadi bekal perjuangannya dan mengantarkannya menjadi orang besar yang harus dikenal oleh segenap bangsa Indonesia.

Tokoh lain yang memberikan pengaruh terhadap kemajuan pemikiran M Natsir adalah Syaikh Ahmad Syoorkati dari organisasi al Irsyad al Islamiyah. Pemikiran dari Syeikh Ahmad Syoorkati ini ini lebih bersifat modernis dan berorientasi ke depan. Melalui beliaulah kemudian M Natsir mengenal Muhammad Abduh di Mesir.

Itulah tokoh-tokoh yang membesarkan M Natsir sejak mulai kedatangannya untuk sekolah di AMS Bandung sampai akhirnya M Natsir memiliki bekal keilmuan yang cukup untuk mengantarkan bangsa dan Negara Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda, Jepang hingga akhirnya merdeka. M Natsir tidak pernah mengenal kata berhenti berjuang untuk menegakkan ajaran Islam di Indonesia ini.

Mohammad Natsir sebagai Pendidik

Pada akhir tahun pelajaran saat M Natsir hendak menyelesaikan sekolahnya di AMS, menjelang ujian akhir M Natsir dihadapkan kepada dua pilihan penting yang akan mempengaruhi perjalanan hidupnya.

Pertama, M Nastsir telah belajar dengan giat dan telah berhasil memperlihatkan prestasinya di sekolah sehingga akhirnya M Natsir mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke perguruan yang sudah sejak lama ia cita-citakan, yaitu melanjutkan ke RHS ( Recht Hoge School/ Fakultas Hukum) di Jakarta. Itulah cita-citanya sejak kecil, sejak M Natsir meninggalkan kampung halamannya. Cita-cita itu pula yang diharapkan kedua orang tuanya, jika M Natsir menjadi dewasa kelak.

Kedua, M Natsir sedang melihat keadaan bangsanya yang berada dalam “kegelapan”  yang disebabkan oleh pengaruh penjajah Belanda. Kolonial Belanda telah sukses mempropagandakan akal bulusnya dan telah menaruh bom waktu ke dalam berbagai tatanan hidup bangsa Indonesia yang setiap saat dapat berakibat fatal. Bidang politik telah diobrak-abrik dan diobok-obok sehingga bangsa Indonesia terpecah belah. Bidang pendidikanpun tak luput dari campur tangan kaum penjajah. Belanda memberikan warisan pengaturan bidang pendidikan yang telah dikotak-kotak menjadi sekolah pribumi dan non pribumi. Sekolah pribumi sebagian besar terdiri dari sekolah-sekolah keagamaam dan sekolah partikelir (swasta) yang tidak diurus dengan biaya dari pemerintah. Sekolah non pribumi hanya dibolehkan untuk anak-anak bangsa penjajah, orang  Cina, dan anak-anak orang pribumi yang bapaknya menjabat sebagai  kaki tangan Belanda. Masing-masing sekolah tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Sekolah keagamaan tradisional, pesantren dan surau-surau memiliki kelebihan dalam mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan akhlak utama, tetapi lemah dalam ilmu pengetahuan praktis yang berguna untuk bekal hidup di dunia. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah mengajarkan ilmu pengetahuan praktis untuk menguasai berbagai bidang kehidupan, tetapi tidak disertai dengan pendidikan agama yang memadai, sehingga lulusannya kering agama. Begitu juga halnya dengan sekolah partikelir yang tidak menganggap penting pendidikan Islam.

Mempertimbangkan dua pilihan di atas, M Natsir memutuskan untuk memilih pilihan kedua sebagai jalan hidupnya. Ia lebih terpanggil untuk menjadi guru bangsa yang memiliki cita-cita ingin merubah nasib bangsa dan negaranya yang berada dalam kegelapan dan penjajahan Belanda menjadi bangsa yang merdeka. M Natsir lebih memilih untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan. M Natsir ingin meninggikan derajat bangsanya yang terbelakang dan terjajah melalui pendidikan. Pemikiran itulah yang sanggup membelokkan cita-cita masa kecilnya yaitu sekolah di RHS, sehingga ia menolak beasiswa tersebut.

Berdasarkan pemikirannya yang matang itu, M Natsir kemudian mendaftar di Sekolah Guru Lanjutan non eropa dari tahun 1930-1932. Setelah M Natsir menyelesaikan sekolah guru, kemudian ia dan kawan-kawannya mendirikan sekolah sendiri pada tahun 1932 dengan nama “Pendidikan Islam”. Sekolah tersebut berkembang dengan pesat dari jumlah murid yang sedikit kemudan lama kelamaan muridnya bertambah banyak.[19]

Sekolah yang didirikan M Natsir sudah dibuat secara berjenjang, mulai dari setingkat  TK (frobelschool), HIS (setingkat SD yang lama belajarnya 7 tahun), MULO (setingkat SMP) dan sekolah guru (Kweekschool). Jumlah muridnya pada saat itu mencapai lebih dari 200 orang, bahkan mempunyai beberapa cabang sekolah di beberapa kota lain.[20]

Dengan melihat dan memperhatikan figur sekolah yang telah dirintis tersebut paling tidak di sekolah itu telah terdapat tujuan, kurikulum, metode, evaluasi dan komponen-komponen pendidikan terkait lainnya yang merupakan hasil pemikiran M Natsir, meskipun tidak seluruh hasil pemikirannya dapat ditemukan.

Dasar Pendidikan Islam

Indonesia merupakan suatu negara dengan penduduk yang memeluk agama yang heterogen. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tetapi falsafah Negara yang digunakan dalam mencapai tujuan pendidikan adalah Pancasila. Falsafah Pancasila mengambil nilai-nilai dari Falsafah Islam. Oleh sebab itu tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Pancasila merupakan bagian dari falsafah Islam. Mengapa demikian?

M. Natsir dalam pidatonya “ Apakah Pancasila bertentangan dengan Ajaran Quran?”  menjelaskan bahwa : dalam pengakuan Quran, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a  priori bertentangan tapi tidak pula identik (sama). Maksudnya adalah Pancasila tidak berlawanan dengan ajaran al Quran. Ini tidak berarti bahwa Pancasila mengandung semua ajaran Islam. Nilai-nilai Pancasila akan berkembang dalam iklim dan suasana Islam, sebab sila Ketuhanan Yang Maha Esa sangat berkaitan dengan nilai-nilai tauhid yang harus dijiwai dan diamalkan oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Selanjutnya M Natsir berkata :

Pancasila sebagai rumusan dari lima cita kebajikan. Seperti diceritakan di atas, tidak seorangpun dari penyusunnya memegang monopoli untuk menafsirkan sendiri dan memberi isi sendiri kepadanya. Masing-masing putera Indonesia merasa berhak untuk memberi isi pada perumusan itu.

Kita mengharapkan supaya Pancasila dalam perjalanannya mencari isi, semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang kepada Al- Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini.

Sebagai wujud dari penafsiran Pancasila itu, para ahli pendidikan di Indonesia merumuskan tujuan pendidikan  berpedoman kepada sila-sila dalam Pancasila. M Natsir sebagai orang yang terlibat langsung dalam penetapan Pancasila sebagai dasar Negara sekaligus sebagai praktisi pendidikan, telah lebih dahulu membuat tujuan pendidikan dengan dasar yang kuat, yaitu ajaran agama Islam yang menjadi inspirasi dari falsafah Pancasila. Adapun dasar pendidikan Islam menurut M Nastsir adalah tauhid. Mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih, jikalau kita sebagai guru ataupun sebagai ibu-bapak, betul cinta kepada yang telah dipertaruhkan Allah kepada kita itu.[21]

Pengertian Pendidikan Islam

Sebagai seorang praktisi pendidikan yang telah memimpin sekolah Pendidikan Islam di Bandung, M Natsir mengemukakan definisi pendidikan Islam sebagai berikut :

Yang dinamakan didikan adalah satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.[22]

M Natsir menggunakan istilah “pimpinan jasmani dan ruhani” kata pimpinan dalam kamus kontemporer mengandung arti kepemimpinan, bimbingan, arahan.[23] Kata pimpinan berasal dari kata dasar pimpin dengan akhiran an. Kata pimpinan dan pemimpin dalam bahasa Indonesia sudah merupakan kata baku. Pimpin memiliki arti memimpin. Memimpin berarti mengetuai, mengepalai, memenangi paling banyak, memegang tangan seseorang sambil berjalan, membimbing, melatih (mendidik, mengajari) agar seseorang dapat mengerjakan sendiri.[24] Sedangkan kata bimbingan berasal dari kata bimbing yang artinya asuh, pimpin, tuntun.

Kepemimpinan, bimbingan dan arahan itu dilakukan oleh orang dewasa terhadap yang belum dewasa. Kepemimpinan, bimbingan dan arahan harus diberikan oleh orang yang kompeten dalam bidangnya. Orang yang kompeten dalam bidang pendidikan adalah pendidik (di sekolah), orang tua (di rumah), dan Masyarakat (di lingkungan masyarakat).

Dengan demikian “pimpinan jasmani dan ruhani” berarti membimbing, mengarahkan, melatih, jika perlu dengan memegang tangan (menuntun), mengasuh agar seseorang dapat mengerjakan sendiri segala pengetahuan yang berhubungan dengan kesempurnaan jasmani dan ruhani peserta didik.

Kesempurnaan yang diharapkan adalah kesempurnaan jasmani dan ruhani manusia dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya. Jasmani dan ruhani merupakan dua bagian yang tidak bisa dipisah satu dengan lainnya pada diri manusia. Manusia tidak hanya terdiri dari daging dan tulang semata, tetapi manusia juga memiliki akal, hati, dan ruh. Setiap perbuatan jasmani manusia selalu berhubungan dengan ruh yang bersatu di dalamnya. Perbuatan manusia itu merupakan hasil interaksi jasmani dan ruhaninya.

Meskipun memiliki jasmani dan ruhani, tetapi manusia belum dipandang sebagai suatu bentuk kepribadian yang integral. Tingkah laku manusia yang lahir sebagai akibat interaksi jasmani dan ruhani dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dikaitkan dengan tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Sebagaimana Allah memerintahkan manusia untuk makan dan minum untuk tuntutan jasmaniah, bukan karena tuntutan jasmani semata. Oleh karenanya dalam makan dan minum diharamkan makan berlebih-lebihan dan diharamkan makan makanan haram.[25]

Selain itu manusia memiliki  karakteristik-karakteristik  dan kesenderungan-kecenderungan yang mirip dengan binatang. Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia tetap ada seperti halnya pada binatang. Namun manusia yang memiliki sifat binatang ini memiliki ciri-ciri tersendiri dalam kompleksitas lebih dalam terhadap sifat kebijaksanaannya. Hal inilah yang membuat manusia lebih unggul dari binatang.[26]

Kebutuhan manusia akan perut dan syahwat telah menjerumuskan manusia ke dalam keharaman. Jika manusia itu tidak dididik jasmani dan ruhaninya, niscaya ia akan bermaksiat kepada Tuhannya. Oleh sebab itu tujuan pendidikan diarahkan untuk mengembangkan seluruh potensi-potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Melalui penerapan asas kemanusiaan, peserta didik dibimbing menyadari harga dan martabat diri, serta nilai kemanusiaan yang secara kodrati melekat pada manusia dengan kehidupannya selaku umat yang sederajat atau sama dihadapan Tuhan,[27] kecuali orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu (QS : 49 : 13). Dengan demikian peserta didik itu tidak hanya aspek emosionalnya saja yang dikembangkan, tetapi juga aspek spiritualnya sebagai umat Islam agar tercipta insan kamil, yaitu manusia yang memiliki wajah Qurani, yang memiliki dimensi religius, budaya dan ilmiah.[28]

Tujuan Pendidikan Islam

Sudah kita ketahui bahwa tujuan bangsa penjajah datang ke tanah jajahan adalah pertama, untuk menyebarkan agama Kristen (God); kedua, untuk mencapai kejayaan (Glory); dan untuk mencari harta kekayaan yang berlimpah dari tanah jajahan (Gold). Tujuan ketiga ini merupakan tujuan materialistis untuk menarik hasil harta benda dari tanah jajahan ke Negara mereka.

Dalam rangka menyelidiki sifat-sifat, tabiat, adat istiadat, pandangan hidup dan agama dari bangsa yang dijajah, Belanda melakukan ikhtiar penaklukan dan pendamaian terhadap tanah jajahan . Untuk melaksanakan cita-cita tersebut mereka memberi pendidikan. Jadi tujuan penjajah memberikan pendidikan adalah (1) Menciptakan tenaga buruh yang dapat dipekerjakan dengan upah yang murah. (2) Dengan adanya buruh yang dapat dibayar murah mereka dapat meningkatkan hasil jajahannya. Hal ini barangkali sesuai dengan prinsip ekonomi “dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya”

Pada umumnya tujuan pendidikan di sekolah-sekolah pada zaman itu ditujukan untuk kepentingan penjajah Belanda. Tujuan pendidikan pada saat itu diarahkan untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dalam bidang pendidikan, mereka memperkenalkan sistem dan metoda baru tetapi untuk sekedar menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.[29]

Sistem dan metode baru dimaksudkan untuk lebih meningkatkan hasil penjajahan. Tidak ada tujuan lain selain itu, karena penjajah khawatir jika masyarakat Indonesia diberi pendidikan yang layak, masyarakat Indonesia akan faham tentang arti kebebasan dan kemanusiaan, sehingga pada akhirnya masyarakat Indonesia akan menuntut kemerdekaan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa M Natsir sangat prihatin akan keadaan pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda ini. M Natsir melihat adanya ketimpangan yang dirasakan rmasyarakat pribumi oleh kebijakan pendidikan saat itu. Keadaan masyarakat pada saat itu berada dalam kondisi memprihatinkan, berada dalam garis kebodohan dan keterbelakangan. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam belum faham tentang ajaran-ajaran Islam dalam Al- Quran yang sesungguhnya dapat membawa mereka menjadi bangsa yang maju.

Kondisi pendidikan di masyarakat pada saat itu banyak pesantren-pesantren yang hanya memberikan pendidikan agama saja tanpa disertai pengetahuan umum. Begitu juga sebaliknya, sekolah-sekolah pemerintah hanya memberikan pendidikan umum saja tanpa disertai pendidikan agama. Dikotomi pengetahuan umum dengan pengetahuan agama ini mengusik pemikiran M Natsir untuk  mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang merupakan cikal bakal pendidikan formal (sekolah umum dengan muatan pendidikan  umum diintegrasikan dengan muatan pendidikan agama).

Sebagai seorang yang terlibat dalam pendirian Sekolah Pendidikan Islam (Pendis), M Natsir memiliki idealisme tersendiri untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam menurut M Natsir adalah untuk menjadi hamba Allah (‘abdullah). Tujuan dari pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari tujuan hidup manusia. Keduanya adalah sama. Menurutnya Al-Quran menjawab tujuan hidup manusia (QS Azariyat : 56)

Menjadi ‘abdullah tidaklah semata-mata mengetahui dan mengamalkan ilmu agama saja. Menjadi hamba Allah (‘abdullah) dalam pandangannya meliputi khalifah fi al ardh, yaitu wujud manusia yang dapat mengelola bumi dengan segenap kemampuan dan keilmuannya. Sosok ’abdullah yang  melengkapi ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah ilahi dan sosok  khalifah fi al ardh yang mumpuni dengan segenap ilmu keduniaan, keduanya akan membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan akhirat.

M Natsir menyebutkan pentingnya ilmu sebagai syarat untuk mendalami dan mencapai kualitas ‘abdullah sebagaimana tersirat dalam (QS. Fathir : 28) dan QS Al- Baqarah : 177).  Kepada manusia yang memiliki persyaratan di atas Allah memberitahukan dengan keras bahwa kejayaan atas dunia tidak diberikan kecuali kepada orang yang pantas untuk mengurus dunia.

Menurut M Natsir itulah yang dimaksud dengan ‘abdullah setinggi-tingginya derajat yang menjadi tujuan hidup menurut keyakinan kaum muslimin sekaligus tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk menjadi orang yang memperhambakan segenap ruhani dan jasmaninya kepada Allah SWT untuk kemenangan dirinya seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia di atas dunia. Demikian jugalah yang menjadi tujuan pendidikan Islam. M. Natsir menyebutnya dengan “ Islamietisch Paedagogisch Ideal

Peserta Didik

Peserta didik adalah manusia yang belum dewasa yang memiliki dimensi jasmani dan rohani, tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristik yang dibawanya sejak lahir yang memerlukan didikan orang dewasa. Peserta didik bukanlah kayu, atau semen atau salah satu logam yang hendak ditetapkan sama rata, berapa panjang, lebar dan tebalnya. Melainkan manusia yang hidup yang mempunyai beberapa sifat dan tabiat yang terkhusus. Sifat dan tabiat yang tak dapat dan  tak boleh dibentuk dan dicetak seperti tanah liat yang dijadikan belanga.[30] Karena berbeda  sifat-sifat dan tabiat, hendaknya proses pendidikan memperhatikan peserta didik sebagai manusia belum dewasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam satu dan lain hal. Sifat dan tabiat tersebut dapat berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk, tergantung kepada proses pendidikan yang dijalaninya. Tugas pendidik untuk menjaga dan memperlakuan peserta didik sesuai dengan naluri (fitrah) yang dimilikinya agar ia dapat berkembang seoptimal mungkin.

Persyaratan bagi seorang peserta didik dalam belajar M Natsir menyebutkan : Seorang pemimpin tidak akan timbul dengan sekedar diberi pelajaran. Ia hanya bisa mekar dalam tekanan tanggung jawab yang dipikulkan atas dirinya, baik kecil atau besar. Tanggung jawab adalah ujian. Dua kemungkinan bisa berlaku, ia patah atau ia berkembang. Ini tergantung kepada persiapan dan watak yang ada padanya  dan kepada kemampuannya mempergunakan pengalaman dan buah pikiran orang-orang yang lebih dahulu.  Begitu juga kepada akhlaknya dan kepada kecakapannya menempatkan diri.

Ini menggambarkan bahwa peserta didik harus belajar bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, menjaga watak, pandai-pandai memilih dalam menggunakan kemampuannya,  belajar pada orang-orang terdahulu yang telah sukses, berakhlak baik dan pandai menempatkan diri sesuai dengan kemampuannya.

Dengan berpedoman kepada generasi muslim abad keemasan,  M Natsir mengemukakan sifat-sifat generasi pada saat itu. bahwa Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid dalam belajar adalah (1) Memiliki ketetapan dan ketabahan hati dalam menuntut ilmu ; (2) Tawakal; (3) Memiliki kemerdekaan berpikir ; (4) Berani mempertahankan hak; dan (5) Menjunjung perintah Allah.[31]

Pendidik

Seorang pendidik adalah pemimpin. Sifat pemimpin bukanlah membunuh cita-cita yang akan tumbuh, tetapi memupuk dan membesarkan tunas yang sedang menjelma, supaya ia lekas dapat menyambung generasi yang telah tua.[32] Pendidik harus  memiliki jiwa gembira, penuh inisiatif, memberikan nasehat-nasehat dan teguran-teguran sesuai dengan keperluan. Selain itu pendidik hendaknya memberikan dasar ukhuwah dan kasih sayang.

Fungsi pemimpin tua bukan untuk mematahkan akan tetapi membentuk penyambung. Tiap-tiap persambungan bukan berarti perceraian, akan tetapi pertemuan dan  berangkainya dua ujung. Antara tunas yang akan berkembang dan pelepah yang akan turun. Menurut sunatullah yang tak dapat dielakkan, ada persambungan.

Selain sifat-sifat di atas sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru menurut M Natsir adalah (1) Memiliki ketabahan dalam menghadapi kesukaran, sabar (2) Ikhlas. M. Natsir dalam Pandji Islam mengajak generasi muda untuk masuk sekolah guru dengan niat yang tulus menjadi guru, bukan karena kebutuhan tertentu. (3) Penuh pengorbanan. Tak pernah satu kemenangan yang  besar dapat tercapai kalau tidak dengan pengorbanan yang setimpal besarnya dengan kemenangan itu. Dan kesempurnaan didikan anak-anak kita yang bakal timbul adalah satu kemenangan agung, tapi yang wajib kita mengeluarkan sebesar-besar kurban untuk mencapainya.[33]

Materi Pendidikan Islam

Sesuai dengan kebutuhan pendidikan pada masa kolonial Belanda, M Natsir sudah membuat pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan pentingnya beberapa materi pelajaran yang harus dikuasai pada saat itu. Ungkapan di bawah ini merupakan idealisme M Natsir tentang beberapa materi pelajaran yang diperlukan pada saat itu.

Kenapakah lantaran perbedaan faham tentang dua tiga masalah itu, kita akan lari dari menyatukan pikiran dan usaha dalam memberi pelajaran dan didikan kepada anak-anak kita tentang akidah, akhlak, muamalah dan lain-lain ajaran dan hikmah Islam serta bermacam-macam pokok kecerdasan yang bersifat keduniaan lagi?[34]

Disebutkan di dalamnya bahwa materi pendidikan Islam yang diperlukan adalah akidah, akhlak, muamalah, dan ajaran Islam lainnya serta beberapa pokok ilmu yang bersifat keduniaan. Tidaklah dengan jelas disebutkan tentang ilmu keduniaan. Tetapi paling tidak yang termasuk ilmu keduniaan itu antara lain berhitung, ekonomi, ilmu  bumi, dan lain-lainnya.

M Natsir menyebutkan beerapa materi yang penting untuk diberikan, diantaranya pertama, tulis baca. [35] (2) Pengetahuan umum,  M Natsir menyebutnya dengan modern science.[36] (3) Pendidikan tauhid. Ketiadaan dan kekurangan pendidikan tauhid akan menyebabkan kerusakan batin yang pangkalnya ialah pada kekurangan pimpinan ruhani diwaktu kecil. Kerusakan batin disebabkan ketinggalan memberikan makanan batin dalam didikan dan terlampau condong kepada pendidikan yang bersifat intelektualitas semata-mata.[37] Meninggalkan dasar ini berarti melakukan satu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar bahayanya daripada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik, walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya dan kita telah kita cukupkan pakaian dan perhiasannya serta sudah kita lengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tidak ada artinya apabila ketinggalan memberikan dasar ketuhanan seperti diterangkan di atas.. (4) Bahasa.[38] Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif untuk memperbaiki peradaban suatu masyarakat. Bahasa merupakan kunci untuk mengerti terhadap suatu ilmu. Tanpa mempelajari bahasa asing kita tidak akan mengerti tentang bangsa tersebut. Bahasa yang harus dikuasai paling sedikit adalah Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, karena keduanya merupakan bahasa internasional. Selain kedua bahasa tersebut, bahasa-bahasa Negara lainpun boleh dikuasai.

Evaluasi  Menurut Mohammad Natsir

Sejauh ini belum ditemukan data-data bagaimana proses evaluasi pendidikan yang dilakukan oleh M Natsir pada saat sekolah Pendis masih beroperasi. Dalam bukunya M Natsir menyebutkan untuk mengetahui sejauhmana kemajuan yang sudah dicapai, harus dilakukan evaluasi.  Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan koreksi atas diri sendiri dan koreksi yang bersifat kritik yang konstruktif dari orang lain.

Prinsip-prinsip Pendidikan Islam

Pelaksanaan pendidikan sangat tergantung kepada prinsip-prinsip yang telah digariskan. Di dalam karya-karya M Natsir tersirat adanya prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan Islam. Prinsip-prinsip tersebut dapat ditemukan di dalam bukunya Capita Selecta jilid 1, yaitu  (1) Sesuai dengan kesanggupan  (2)Keseimbangan jasmani dan rohani; (3) Kematangan; (4) Persediaan ruhani yang cukup untuk berpikir menurut garis ilmu pengetahuan; (5) Relevan dengan kemajuan zaman

Simpulan

Dasar pendidikan Islam menurut M Natsir adalah tauhid. Penyerahan diri kepada Allah dengan sepenuhnya, dalam setiap ucapan dan perbuatan. Pendidikan Islam menurut M Natsir adalah pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Tujuan Pendidikan Islam menurut M Natsir sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk mewujudkan hamba Allah (‘abdullah), yang memiliki kualitas pengetahuan keakhiratan (ilmu agama) dan keduniaan (science).  Peserta didik adalah manusia yang belum dewasa yang memerlukan pimpinan dan arahan dari pendidik sesuai dengan fitrah dan karakteristik yang dimilikinya. Adapun sifat-sifat sorang peserta didik agar berhasil dalam proses pembelajaran adalah memiliki ketetapan dan ketabahan hati dalam menuntut ilmu, tawakal, memiliki kemerdekaan berpikir, berani mempertahankan hak, dan menjunjung perintah Allah. Pendidik adalah pemimpin yang mengarahkan, membimbing dan membantu peserta didik dengan penuh kasih sayang serta mengerti karakteristik peserta didiknya. Sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah tabah, ikhlas, dan penuh pengorbanan. Materi pendidikan Islam menurut M Natsir adalah materi yang berhubungan dengan kepentingan keakhiratan (ilmu keagamaan)  dan ilmu keduniaan (ilmu modern/ modern science). Evaluasi yang harus dilakukan dalam pendidikan Islam adalah koreksi atas diri sendiri dan kritik yang konstruktif dari orang lain. Prinsip-prinsip pendidikan Islam menurut M Natsir adalah sesuai dengan kesanggupan, keseimbangan jasmani dan rohani, kematangan, persiapan ruhani, relevan dengan kemajuan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Mahmud, Ali, Pendidikan Ruhani, Jakarta: Gema Insani, 2002.

Ali, Atabik,  dkk, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, t.t.

Al-Nahlawi Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1992.

Rosihan Anwar, Kenangan Pada Mohammad Natsir Datoek Sinaro Panjang dalam 100 Tahun Mohammad Natsir, Jakarta : Republika, 2008.

Azmi, H, Mohammad Natsir Nasional Sejati dalam 100 Tahun Mohammad Natsir, Jakarta : Republika, 2008.

Daradjat Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,  Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : IAIN, 1986.

Ibn Rusn, Abidin, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Omar, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979.

Natsir, M, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: PT Giri Mukti Pasaka, 1988.

Natsir, M, Capita Selecta jilid 1, Bandung: Sumur Bandung, 1961.

Natsir, M, Capita Selecta jilid 2, Jakarta: Pustaka Pendis, 1957

Natsir, M,  Akhlak dan Moral, Pidato M Natsir dalam Konferensi Guru Taman Pendidikan Islam, Mei, 1951

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2006

Sumaatmaja, Nursid,  Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung : Alfabeta, 2002

Tafsir, A,  Filsafat Pendidikan Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006.

Zed, Mestika,   Mohammad Natsir, Negarawan, Pemikir Islam dalam 100 Tahun Mohammad Natsir, Jakarta : Republika, 2008


[1]  M Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Sumup Bandung, 1961), h. vii

[2] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, (Bandung : Diponegoro, 1992), h. 31

[3] Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 56

[4] Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), h. 28

[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2006),  h. 121

[6] A Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), h. 77

[7] Ibid.

[8] Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979). h. 485-486

[9] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2006), h. 152-153

[10]Ibid. 56

[11] Abdurrahman an Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, (Bandung : Diponegoro, 1992), h. 239-246

[12] Ramayulis, Ilmu, h. 225-226

[13] H Azmi, Mohammad Natsir Nasional Sejati dalam 100 Tahun Mohammad Natsir, (Jakarta : Republika, 2008), h. 119

[14] Mestika Zed, Mohammad Natsir, Negarawan, Pemimpin Islam dalam 100 Tahun, h. 94-95

[15] Rosihan Anwar, Kenangan Pada Mohammad Natsir Datoek Sinaro Panjang, dalam 100 Tahun, h. 20, Mestika Zed, Mohammad Natsir, h. 120.

[16] Mestika Zed,  Mohammad Natsir, Negarawan, Pemikir Islam dalam 100 Tahun Mohammad Natsir (Jakarta : Republika, 2008), h. 95

[17]H Azmi, Mohammad Natsir Nasional Sejati dalam 100 Tahun, h. 121

[18] Ibid, h. 120

[19] Mestika Zed, h. 96

[20] M Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta : PT Giri Mukti Pasaka, 1988), h. xx

[21] M Natsir, Capita,  h. 111

[22] M. Natsir, Capita,, h. 55

[23] Atabik Ali, dkk, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, t.t) h. 1479

[24] Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( 1997), h. 133

[25] Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, (Jakarta : Gema Insai, 2002), h. 70

[26] Ibid.  h. 72

[27] Nursid Sumaatmaja, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, (Bandung : Alfabeta, 2002), h. 76

[28] Muhaimin dalam Ramayulis, Hakikat peserta Didik dalam Pendidikan Islam, Makalah STAIN, Batusangkar, 2000, h. 7

[29] Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : IAIN, 1986), h. 145

[30] M Natsir, Capita, h. 82

[31] Ibid. h. 53

[32] M Natsir, Akhlak dan Moral, Pidato M Natsir dalam Konferensi Guru Taman Pendidikan Islam, Mei, 1951

[33] M. Natsir, Capita, h. 84

[34] Ibid., h.. 83

[35] Ibid., h. 83, Dua puluh tiga tahun lamanya ajaran-ajaran yang disusun menjadi hakikatnya agama Islam, disampaikan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dari sedikit ke sedikit. Apakah yang pertama kali diajarkan beliau ? Di tengah-tengah satu bangsa yang umumnya bersifat ummi, tak tahu tulis baca, ditengah-tengah satu kaum, dimana hak kekuasaan semata-mata berdiri diujung pedang terhunus, kemuliaan dan kehinaan bergantung kepada keberanian menyabung nyawa dan kemahiran mempermainkan senjata; Ditengah-tengah umat yang demikianlah agama Islam mengajarkan pertama kali bahwa pokok dari kecerdasan dan kemuliaan yang sejati itu diperdapat dengan ilmu. Ilmu yang dapat diperoleh dengan kepandaian tulis baca. Tulis baca, perkakas penyiarkan ilmu antara golongan manusia yang satu masa dan perbendaharaan penyimpan ilmu untuk turunan yang akan datang. Di zaman kaum muslim berulang-ulang mendapat serangan dari kaum Quraisy, yang beberapa kali lebih besar kekuatannya, apakah yang diajarkan oleh nabi mereka untuk cara pengganti uang tebusan, melapaskan tawanan perang yang tidak mampu yang ada ditangan kaum muslimin? Bukan diajarkan supaya tawanan itu ditaklukan dengan mata pedang, melainkan mereka disuruh mengajar anak-anak Islam menulis dan membaca. Pelajaran menulis dan membaca itulah yang menjadi uang tebusan

[36] Ibid., h. 68.

[37] Ibid., h. 111

[38] Ibid., 103-106. Menurut M Natsir Soal bahasa adalah salah satu soal kecerdasan bangsa yang terpenting! Bahasa ibu, bahasa kita sendiri, adalah menjadi syarat bagi berdiri tegaknya kebudayaan kita. Bagi kita untuk perhubungan kebudayaan ini, amat perlulah bahasa yang amat lengkap dan luas daerahnya dari daerah bahasa kita sendiri. Oleh karena itu disamping bahasa ibu kita sendiri, adalah bahasa asing yang lebih luas dan lebih kaya yang dapat memperhubungkan kita dengan negeri luar, menjadi satu rukun yang tak boleh tidak bagi kemajuan dan kecerdasan kita. Bahasa Arab itu, bukanlah bahasa agama semata-mata, bukan satu dialek, bukan bahasa satu provinsi. Akan tetapi ia adalah satu bahasa dunia, satu bahasa kebudayaan, satu bahasa pemangku kecerdasan, unci dari bermacam pengetahuan dan kaya raya untuk mengutarakan suatu faham atau pengertian, dari yang mudah kepada yang se sulit-sulitnya dari yang bersifat maddah (kongkrit) sampai kepada yang bersifat ma”nawi (abstrak); Ya, malah lebih kaya dari bahasa eropa yang mana jua. Dan bagi kita kaum muslimin, adalah bahasa Arab itu satu bahasa persatuan yang takkan mungkin dicarikan gantinya, bahasa kunci dari perbendaharaan ilmu dan pengertian agama kita. Besar kerugian dan kerusakan yang menimpa kita apabila bahasa ini kita abaikan dan kita kesampingkan!

Sebelum meninggal Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab, seorang yang ia pandang memiliki kemampuan dengan maksud mencegah kemungkinan terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam. Beliau bermusyawarah dengan para sahabat terkemuka. Pada akhirnya para sahabatpun menyetujui usulannya. Kemudian ia menulis surat wasiat untuk Umar bin Khattab sebagai berikut :

Bismillahirrahmaanirrahiim. Inilah wasiat Abu Bakar, khalifah Muhammad Rasulullah SAW diakhir hayatnya dan di awal akhiratnya. Dalam keadaan orang kafir telah beriman dan orang jahat telah bertaubat, saya mengangkat Umar bin Khattab sebagai pemimpin kamu sekalian. Jika dia benar dan berbuat adil, maka itulah pengetahuanku dan pendapatku tentang dia, dan jika ia menyimpang maka saya sama sekali tidak mengetahui hal yang ghaib. Kebaikan adalah yang saya inginkan dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia usahakan” Dan orang-orang yang zalim akan mengetahui akibat  yang akan mereka peroleh”(QS 26 : 227).

Masa pemerintahan Umar berakhir karena ia dibunuh oleh budak Parsi (Fairuz Abu Lu’luah) pada hari Rabu tanggal 4 Zulhijah ketika ia akan memimpin shalat subuh. Ia ditikam seseorang dari belakang tiga atau enam kali. (Haekal, 2002 : 773). Karena tragedy tersebut, maka masa kekhalifahan Umar bin Khattab segera berakhir. Sebelum wafatnya Umar membentuk dewan Syura untuk menentukan siapa yang akan menggantikannya.

Khalifah ketiga, Usman bin Affan mendapat amanat kekhalifahan melalui majelis syura yang dibentuk Umar bin Khattab. Umar membentuk majelis syura dengan tugas untuk memilih diantara mereka seorang khalifah sesudahnya. Keenam orang itu adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqash (Haekal, 2002 : 3).

Pada saat musyawarah terjadi perselisihan. Ali bin Abi Thalib tidak menghendaki perselisihan itu. Ali mengetahui betul bahwa ia akan ditinggalkan. Bercermin pada sejarah, bahwa sejak seratus tahun sebelum kelahiran Nabi SAW, kelompok Banu Hasyim dan Banu Umayah selalu bersaing. Itulah yang terjadi dengan Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash dan Zubair bin Awwam. Tak seorangpun dari sahabat-sahabat itu termasuk Banu Hasyim (Haekal : 14). Demikianlah mengapa Ai bin Abi Thalib merasa telah ditinggalkan. Kemudian Usman terpilih dan dibaiat pada hari Senin akhir Zulhijah tahun 23H. Pada 1 Muharram 24 H ia sudah menjadi khalifah.

Masa kekhalifahan Usman berakhir ketika ia sudah tidak sanggup lagi mengatasi berbagai gejolak politik, ekonomi, sosial dan lainnya yang terjadi saat ia menjadi khalifah. Umat meminta Usman bin Affan mundur dari kekhalifahan, sehingga pada akhirnya menyebabkan ia dibunuh oleh pemberontak yang bernama Al Ghafiki. Lehernya dipotong, sedangkan mushaf Usman masih tergenggam ditangannya. Riwayat yang gelap ini terjadi pada tahun 35 H, yakni setelah 11 tahun lamanya beliau memerintah.

Ali bin ABi Thalib menjalani suksesi lewat bai’at yang diberikan oleh umat secara umum. Sebenarnya bukan ini yang diinginkan Ali. Kedudukannya setelah menjadi khalifah sangat sulit. Tetapi jika ia mundur, salah juga. Mayoritas umat mensedak Ali agar segera dibaiat. Umat tidak boleh terlalu lama tanpa imam, tanpa pemimpin (Ali Audah : 219).

Langkah pertama Ali setelah dibai’at adalah : memberhentikan pejabat-pejabat yang diangkat oleh Usman bin Affan, padahal ketika itu ia belum mendapat bai’at dari umat di negeri-negeri pejabat itu. Kedua, Ali RA mengakhirkan pengurusan pembinuh-pembunuh khalifah Usman bin Affan. Ketiga, Ali mengirim surat kepada Muawiyah agar segera bai’at kepadanya, tetapi Muawiyah menolak dengan alas an Ali RA belum menghukum pembunuh Usman bin Affan. Ketiga langkah kebijakan Ali bin Abi Thalib itu menjadi penyebab dari berbagai huru-hara yang akan terjadi setelahnya. Diantara huru-hara terbesar adalah disebabkan oleh kaum khawarij. Kaum khawarij adalah kaum anarkhis di dalam riwayat Islam (Ali Audah, 225). Mereka tidak senang terhadap kekacauan yang disebabkan oleh tiga orang yang berperan dalam peristiwa tahkim. Mereka sepakat hendak membunuh ketiganya dan mengatur serta membagi tugas. Abdurrahman bin Muljam membunuh Ali, Burak bin Abdullah membunuh Muawiyah, dan Amru bin Bakr At-Tamimi membunuh Amru bin Ash. Dan yang terbunuh pada peristiwa itu adalah khalifah Ali, sedangkan yang lainnya berhasil diselamatkan. Olehpengikutnya.

D. Menghadapi Konflik Intern

Awal pemerintahan Abu Bakar diwarnai berbagai kekacauan  dan pemberontakan di beberapa bagian negeri. Pertama, munculnya gerakan riddat (belot agama) yang disebabkan oleh wafatnya Nabi SAW yang menggoyahkan iman mereka serta karena keyakinan mereka yang belum mantap terhadap ajaran Islam. Kedua, banyaknya orang yang enggan membayar zakat tetapi mereka masih sudi untuk shalat. Mereka menganggap zakat adalah upeti yang harus diserahkan kepada Nabi SAW. Mereka menganggap ketika Nabi SAW wafat tidak ada lagi kewajiban zakat atas mereka. Ketiga, timbulnya nabi-nabi palsu diberbagai bagian Arab, yaitu Aswad Al Ansi dari Yaman, Musailamah al Kazzab dari suku Bani Hanifah yang mendiami Yamamah dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad. Kelompok-kelompok ini sebenarnya pada masa Nabi telah ada, namun kebesaran nama Muhammad menggetarkan mereka. Wafatnya Rasulullah dijadikan kesempatan oleh mereka untuk murtad dan mengganggu khalifah Abu Bakar yang baru menjabat. Keempat, pemberontakan dari berbagai kabilah yang disebabkan oleh perjanjian damai. Meraka menganggap perjanjian itu bersifat pribadi dan terhapus dengan wafatnya Rasul. Keempat peristiwa di atas diselesaikan oleh Abu Bakar dengan istilah Perang Riddat (perang melawan belot agama), yang dipimpin oleh kepala-kepala perang yang teguh dan setia kepada Abu Bakar. Semua ekspedisi yang ditujukan kepada mereka berakhir dengan sukses. Khalid bin Walid adalah panglima perang yang sangat berjasa pada peristiwa ini.  (Bersambung)

  1. Pendahuluan

Peradaban Islam pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidûn merupakan masa-masa penuh ibrah dan model peradaban yang gemilang. Dua khalifah yang pertama telah memberikan jalan kepada umat Islam untuk memajukan peradaban Islam. Khalifah Abu Bakar Al-Shiddieq dan khalifah Umar bin Al-Khattab telah merintis jalan yang berliku untuk melancarkan perjalanan bagi perjuangan memajukan peradaban Islam bagi khalifah berikutnya.

Dua khalifah terakhir, yakni khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib melanjutkan memimpin umat Islam, terlepas dari adanya beberapa fitnah besar dikalangan mereka.

Tulisan berikut akan mengupas sejumlah ibrah dari kepemimpinan para Al-Khulafa Al-Rasyidûn. Catatan sejarah semasa kepemimpinan mereka yang agung ini perlu direnungkan. “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat ibrah bagi Ulul Albab”.

  1. Kepribadian Al-Khulafa Al-Rasyidûn

Pertama, Abu Bakar, dilahirkan di Mekah, dua setengah tahun setelah tahun gajah. Pada masa pra Islam namanya adalah Abdul Ka’bah, kemudian Nabi SAW menggantinya dengan Abdullah. Gelar Abu Bakar diberikan, karena ia orang yang paling dini dalam Islam (Haikal, 1987:3). Sejak kecila beliau dikenal sebagai anak yang baik, sabar, jujur, lembut, sehingga sangat disenangi oleh masyarakat. Ia seorang pemikir Mekah yang memandang penyembahan berhala sebagai suatu kebodohan dan kepalsuan belaka (Haikal : 5). Sehingga tidaklah heran pada saat ditawarkan Islam kepadanya, ia langsung menerimanya. Setelah masuk Islam, ia menumpahkan perhatiannya untuk pengembangan Islam. Dalam setiap pertempuran bersama Nabi SAW ia tidak pernah absen. Ia adalah orang yang sederhana. Bahkan pada saat menjadi khailifahpun ia tetap sederhana, bahkan sebelum wafat ia mengembalikan semua harta ke baitul mal.

Kedua, Umar bin Khattab, ia seorang yang tegap, kuat, berani dan berdisiplin tinggi. Tutur bahasanya halus, bicaranya fasih. Ia terkenal sebagai pegulat. Disamping itu ia orang yang zuhud, yang paling keras menjauhi harta (Haikal : 63). Ia masuk Islam dalam usia 27 tahun, pada tahun 616 M, dimana sebelumnya ia merupakan tokoh Quraisy yang paling gigih menentang Islam. Keislamannya membuka jalan bagi masuk islamnya pemuka-pemuka Arab lainnya.

Ketiga, Usman bin Affan, ia lahir pada tahun keenam Tahun Gajah. Ia berasal dari keturunan Bani Umayah. Perawakannya sedang, tidak tinggi, tidak pendek, wajahnya tampan, berkulit cerah dengan warna sawo matang dan terdapat sedikit bekas cacar (Haikal : 33)

Keempat, Ali bin Abi Thalib, ia anak Abu Thalib, paman Nabi. Ia mengenal cahaya Islam ketika berusia 10 tahun. Selain Khadijah perempuan pertama

Sifat yang lekat dengan Ali adalah kefasihan bicara, zuhud, keberanian, selalu memenuhi janji, adil, pemaaf, dan hati yang bersih. Hidupnya lebih banyak menahan lapar dan sangat kuat menahan diri dalam masalah-masalah dunia, serta tekun beribadah (Ali Audah : 58)

C. Suksesi Al-Khulafa Al-Rasyidûn

Kekhalifahan merupakan sumber perselisihan pertama dikalangan kaum muslimin, dan hal itu terjadi di tempat kediaman Rasulullah SAW, sebelum jenazah beliau dimakamkan (Ahmad Amin, 1993: 80).  Kaum Anshar mengadakan persidangan di Saqifah Bani Saidah untuk membahas suksesi ini. Kaum Anshar menuntut bahwa merekalah yang memberikan perlindungan kepada Nabi pada waktu krisis besar. Oleh karena itu seorang pengganti Nabi harus dipilih dari kalangan mereka (Syed Mahmudunnasir, 1994 : 117). Kaum Anshar dari suku Khazraj mencalonkan wakilnya Sa’ad bin Ubadah untuk mengganti Nabi. Kemudian Sa’ad berpidato untuk mempengaruhi kaum Anshar agar mengikuti anjurannya.

Kaum Muhajirin mendengar hal tersebut, kemudian berunding dan mengirimkan tiga orang untuk menghadiri siding tersebut, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bib Jarrah. Ketiga tokoh ini masih mendengar bagian terakhir dari pidato Sa’ad bin Ubadah. Konon Umar bin Khattab tidak mampu menahan diri saat itu dan ingin maju ke depan menangkis pidato tersebut, tetapi dicegah oleh Abu Bakar (Joesoef Sou”yb : 19). Kemudian Abu Bakar maju ke depan dengan tenang dan bijak, dan kemudian berpidato dengan menenangkan suasana. Yang dilakukan Abu Bakar adalah yang kita sebut dengan serangan damai. Pada masa dahulu serangan damai demikian ini sudah tidak asing lagi. Cara ini dilakukan oleh Abu Bakar juga oleh kedua sahabatnya dalam pertemuan yang sangat bersejarah itu (Haikal : 35). Abu Bakar di dalam pidatonya mengatakan bahwa kepemimpinan adalah hak kaum Quraisy, karena merekalah yang merasakan pahit getirnya perjuangan Islam sejak awal. Tetapi kaum Anshar terus mendesak. Kemudian Abu Bakar bin Jarrah berkata : “ Sahabat-sahabatku dari kalangan Anshar! Kamu adalah pihak yang pertama-tama menyokong dan membantu. Janganlah kamu menjadi pihak yang pertama-tama berobah dan berganti pendirian (Joesoef : 27). Hal ini membuat tenang suasana dan dimanfaatkan oleh Abu Bakar dengan mengajukan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah untuk dipilih. Tetapi keduanya menolak dan kemudian membai’at Abu Bakar. Hal ini diikuti oleh Basyir Ibnu Sa’ad kaum Anshar dari suku Aus, dan diikuti oleh semua yang ada dalam persidangan di Saqifah Bani Saidah.

Asapun Ali bin Abi Thalib tidak hadir dipersidangan lantaran sedang menjaga jenazah Rasulullah SAW, dan ketidakhadirannya itu menjadi alas an pula baginya untuk tidak turut membai’at (Hamka, 2001 : 204).

Abu Bakar mengalami dua kali pembai’atan, pertama di Saqifah Bani Saidah yang dikenal dengan bau’ah hasanah. Pada bau’ah yang kedua Abu Bakar menyampaikan pidatonya sebagai berikut :

“Hai orang banyak seumumnya, aku diangkat mengepalai kamu, dan aku bukanlah terbaik diantara kamu. Jika aku membikin kebaikan, maka sokonhlah aku. Jika aku membikin kejelekan, maka betulkan aku. Kebenaran itu suatu amanat, dan kebohongan itu suatu khianat. Yang terlemah diantara kamu aku anggap yang terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya. Yang terlemah diantara kamu aku anggap terlemah sampai aku mengambil hak si lemah dari tangannya. Janganlah seorangpun diantara kamu meninggalkan jihad karena akan ditimpakan kehinaan oleh tuhan. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya tiada kewajiban patuh bagi kamu terhadapku. Kini marilah kita menunaikan shalat. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kamu”. (bagian 1)

Wahai manusia, sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. AMirul mukminin karamallahu wajha berkata : aku berdiri dan berkata: Ya Rasulullah, apa amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yg diharamkan Allah”

Wahai manusia, sesungguhnya kamu dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya sebagai tathawwu’.

Barang siapa mendekatkan diri pada Allah dengan suatu pekerjaan kebaikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan lain.

Ramadhan itu bulan yang sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan dan bulan Allah memberikan rizki kepada orang mukmin di dalamnya.

Barang siapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari mereka. Orang yang memberikan makan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.

Para sahabat berkata : Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah SAW ” Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma atau seteguk air, atau sehirup susu”

Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barang siapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk para pembantu rumah tangga), niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekanya dari neraka”.

Oleh karena itu banyakanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan, dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu menghajatinya.

Dua perkara pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya Dua perkara yang sangat kamu memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.

Barang siapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Alah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan sesuatu minuman yang dia tidak merasa kan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga. (HR. Abu Huzaimah)

MARHABAN YA RAMADHAN….

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM

Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah, Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima, dan do’a-do’amu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Ramu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa haus dan laparmu kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraan, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang kamu tidak halal memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdo’a pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat paling utama ketika Allah azza wa zalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih. Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya, dan mengabulkan do’a mereka ketika mereka berdo’a kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesarannya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri dihadapan Rabb ‘alamin.

Wahai manusia barang siapa diantaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka disisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Shahabat-shahabat lain bertanya : ‘Ya Rasulullah, tidaklah kami semua mampu berbuat demikian”. Rasulullah meneruskan ” jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air”.

Wahai manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, ia akan berhasil melewati shirathal mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantunya) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barang siapa yang menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturrahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan Rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barang siapa melakukan shalat fardhu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu di bulan lain. Barang siapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barang siapa di bulan ini membaca Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan lain. (Bersambung)

Demi Waktu

Kalender

April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Belajar Menghias Blog dengan Animasi

Blog Stats

  • 10.878 hits

Pendidikan